Cinta Yang Terenggut (Fredy S) - Bagian 6

FREDY S.
CINTA YANG TERENGGUT



Cerita ini adalah fiktif, bila ada persamaan nama, tempat maupun peristiwa, itu hanyalah kebetulan belaka, dan tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Bagian 6

TERTEGUN Annete berdiri di ambang pintu keluar. Lalu lalang para pembezuk tidaklah menyita perhatiannya. Pikirannya terpusatkan pada mantan atasannya, Pak Alam. Pembicaraan singkat mereka terngiang-ngiang ditelinganya.
  Sebagai atasan, Pak Alam membutuhkan Reza yang termasuk orang kepercayaannya. Wajarlah kalau beliau menjenguk Reza  untuk menunjukkan perhatiannya dan rasa sosialnya. Selain itu di akui Pak Alam, beliau juga berniat menyelidiki latar belakang pemukulan yang di alami Reza. Sedangkan pada Annete saja Reza masih menyelubinginya, apakah pada atasannya Reza bersikap serupa?
  Ah, tidak mungkin. Pastilah Reza akan menceritakannya pada Pak Alam. Jadi? Hai! Mengapa Annete tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk mengetahuinya dengan cara menguping pembicaraan mereka?
  Gagasan itu membuat Annete berbalik ke kamar Reza dengan bersemangat. Dia yakin sekali Reza akan menceritakan pada atasannya dan tidak menutupi sebagaimana terhadap dirinya.
  Dengan nafas terengah-engah Annete tiba di depan kamar Reza. Beruntung sekali pintunya tidak tertutup rapat jadi suara percakapan didalam terdengar cukup jelas. Dengan hati-hati Annete menyisih kebalik pintu memasang telinganya agar dapat mengikuti pembicaraan antara Reza dan atasannya.
  Apa yang didengarnya terasa mengejutkan. Dibalik pengerooyokan semalam yang rupanya berkaitan dengan pemukulan sebelumnya, ternyata juga menyangkut dirinya dan keluarganya.
  Bukan main marahnya Annete menyadari anaknya mengetahui beberapa hal penting dan sengaja merahasiakannya. Setelah pengakuan Reza tuntas, tergesa-gesa Annete meniggalkan rumah sakit.
  Tak pelak lagi, setibanya dirumah, teriakannya mengejutkan seisi rumahnya. Dani yang dipanggil memunculkan diri dalam waktu amat singkat.
  “Ada apa ma?”
  “Keterlaluan kamu Dani! Kamu.. Kamu..”
Nafas Annete yang terengah-engah diluapi emosi membuatnya tidak terkendali.  Baik Ibunya maupun Ayahnya berusaha menenangkannya.
  “Ada apa Anne? Kok pulang-pulang kamu marah-marah begini?” tegur Ibunya seraya menduduk ke sofa. Wajah Dani memucat, anak laki-laki itu seudah memperkirakan apa yang menyebabkan Ibunya marah dan sewot.
  “Kesalalhanmu segudang Dani. Dengarkan.
  Pertama; kamu tidak memeritahukan Mama kalu Papa mu ditinggal minggat Ibu tiri mu.
  Kedua; kamu bersekongkol dengan Reza menyembunyikan hal itu, padahal kamu sudah diberi tau dia kalau pemukulan yang [ertama kalinya didalangi oleh Papa mu. Papa mu mengancamnya lewat orang-orang biadab itu untuk tidak membantu dan berhubungan dengan Mama..”
  “Dani!” Pekik ayah Annete kaget luar biasa. Matanya membelalak. Kemarahan Annete menulari sang Ayah. Karuan saja Dani menundukkan kepalanya semakin dalam.
  “Opa tahu kesalahanmu yang lain Dani. Semalam diam-diam kamu menolong Reza, lantas tadi pagi kamu membolos..”
  “Dani! Kamu sadar tidak kalau kesalahanmu bisa berakibat fatal bagi Reza? Kalau Papa mu kalap dan lupa diri.. Ya Tuhan..! Faisal hampir membunuhnya Pa! Faisal gila Ma!” Teriak Annete dengan suara menggelegar.
  Ayah Annete terhenyak. Annete menjelaskan apa saja yang diketahuinya daari pembicaraan Reza dengan atasannya yang disadapnya dari rumah sakit. Orang tua Annete mengetahui kalau Dani tinggal dengan Ayahnya bertujuan untuk memata-matai. Makanya Annete mengetahui perkembangan rumah tangga mantan suaminya, kecuali bagian terakhir yang dirahasiakan Dani. Padahal yang dirahasiakan itu justru amat penting dalam mewaspadai tindakan Faisal selanjutnya terhadap Annete, Reza, Dani dan keluarga mereka.
  “Dani .. sudah peringatkan Om Reza untuk memenuhi tuntutan Papa, tapi beliau menanggapi. Alasannya kuatir papa melecehkannya sebagai pengecut Ma!” Kata Dani seakan membela dirinya.
  “Wah! Berani betul laki-laki itu Pa” Guman Ibu Annete bernada kagum.
  “Sayang keberaniannya dibayar cukup mahal. Tapi terpenting sekarang adalah apa yang harus kita lakukan Pa? Annete, ada yang kamu pikirkan sebagai jalan keluarnya?” Tanya Ibunya.
  “Ya, apa yang bisa kita lakukan Pa?” Tanya Annete meminta pendapat Ayahnya.
  “Kita lapor polisi saja Pa”. Ibu Annete melontarkan gagasannya. Ayah Annete menggelengkan kepalanya.
  “Itu langkah terakhir kita tapi sekarang yang bisa kita lakukan.. ah, aku menemuinya”.
  “Dani, kau harus ikut Opa mu. Eh.. Annete juga ikut saja Pa, Annete ingin tahu apa yang aka di lakukannya dalam mengahdapi kita”.
  “kalau begitu, bersiaplah, sekarang kita temui Faisal”. Putus Ayah Annete dengan gerangnya. Buntut-buntutnya Ibu Annete juga tertarik ikut supaya memperkuat barisan pertahanan bila mantan menantunya kalap dan menyerang mereka semua.
  Tentu saja tidak asal menemui Faisal. Di aturlah siasat kalau Dani lah yang maju terlebih dahulu karena anak itu sudah mengenal medan pertempuran mereka.

***

  Dengan isyarat matanya, Ayah Annete mengisyaratkan cucunya untuk maju. Rumah Faisal kelihatan amat sepi. Kegelapam malam terasa mencekam hati mereka yang bersembunyi disudut teras.
  Berkali-kali Dani mengtuk pintu, tak direspon apa-apa. Lantas Dani menjunjukkan jalan belakang yang akan ditujunya. Ayah Annete menyusul karena kuatir cucunya sendirian menghadapi musuh mereka.
  Pintu belakang terbuka. Dani makin berhati-hati dengan kepalanya yang celingukan.
  “Jalan sana, Opa membayang-bayangimu Dan”. Bisik Ayah Annete menguatkan hatinya.
  “Hm,, kita kedalam, langsung ke kamarnya saja, biasanya Papa ada dikamarnya Magrib-Magrib begini”. Bisik Dani menunjuk arah kamar Faisal.
  “Opaa, Lihat!” dani terdengar cukup keras, tubuhnya disisihkan agar kakeknya dapat melihat pemandangan menakjubkan itu. Bagaimana tidak menakjubkan? Siapa yang mengira akan menemui Fasial yang sendang mabuk berat? Botol-botol minumannya berjejer di atas meja.
  Dani panggilkan Mama dan Oma ya”. Katanya sambil melesat keluar, membukakan pintu bagi Ibu dan neneknya. Begitu diberitahu Faisal mabuk, kedua wanita itu masuk dan menyaksikannya dengan mulut berdecak.
  “Ck..ck..ck.. Faisal..Faisal..”
  “Oohh! Papa! Bisik Dani amat sedih dan malu.
  “Dani! Ambilkan seember air, kita bikin dia sadar”. Kata Ayah Annete tak sabar lagi. Dan tidak kepalang tanggung, wajah Faisal diguyur air. Matanya mengerjap berkali-kali dan mulutnya terlontarkan nama anak dan istrinya.
  “Oh! Pa..pa.. Mama..? Ohh.. Annete! Kau kembali, Huuu... kau kembali padaku..” Agak histeris Faisal menubruk tubuh Annete. Suara tangisan terdengar menyayat hati.
  “Annete kau kembali! Kau kembali padaku”. Begitulah kata-kata yang sama di ualnginya. Kebingunganlah Annete menghadapi perubahan sikap mantan suaminya. Dipalingkan wajahnya ke arah orang tuanya seakan meminta pendapat bagaimanakah sikap selanjutnya?
  “Coba kau katakan keinginan kita semua supaya dia tidak mengganggu bisnismu dan Reza”. Kata ayahnya menyarankan.
  “Sal..! Dengarkan, aku punya permintaan, tolonglah pekerjaanku tidak kau ganggu. Kita kan sudah berpisah baik-baik. Kamu juga jangan menteror Reza. Dia membantuku karena ulahmu kan? Kalau kamu baik-baik, Reza tak perlu lagi membantuku. Kamu paham Sal..?”
  “Yyyyyyaa. Ya paham”. Jawabannya tidak meyakinkan siapapun yang mendengar kalau Faisal memahami maksud Annete.
  “bagaimana kalau Faisal kita antarkan ke rumah sakit ji ..”
  “Tidak! Tak perlu!” Sebuah suara amat nyaring terdengar mengejutkan keempat orang yang mengelilingi Faisal. Serentak mereka memalingkan wajah ke arah pintu, terlihat seorang wanita muda menenteng tas besar yang diletakkannya di atas lantai. Annete dan Dani mengenalinya, dia adalah Reyni, istri Faisal.

"Cuma 21 Hari Langsung Dapat Jodoh"

"Cuma 21 Hari Langsung Dapat Jodoh"

  “Biar saya yang mereawatnya. Tanggung jawab saya merawatnya sampai jiwanya sembuh karena saya juga beresalah meninggalkannya.
  Tanpa mempedulika apakah tamu-tamunya mau mendengarkan atau tidak, Reyni mengoceh sendirian dengan mata terarah pada Faisal, suaminya.
  “Saya minggat karena saya tak tahan, dia tetap pada pendirian ingin menghancurkan Mbak Annete. Suah saya nasihatkan , Eh..dia tetap saja keras kepala. Ketika saya tahu dia mengupah orang-orang untuk menghajar Bung Reza, saya marah padanya dan saya pergi meninggalkannya. Sugguh, saya tak mengira beginilah dampaknya”.
  “Ooh! Saya sadar kekeliruan langkah saya. Saya masih menciantainya dan mengasihinya. Saya terus memikirkannya dan akhirnya saya kembali. Saya mohon dia tidak dihukum lagi, sebab kehilangan Mbak Annete dan dani sudah merupakan hukuman terbrat baginya. Saya akan merawatnya sampai sembuh. Saya akan menjaganya. Percayalah, dia takkan berbuat yang macam-macam lagi”. Pintanya melas.
  Ibu Annete lah yang tersadar lebih dulu diantara ketiga orang didekatnya.
  “Baiklah, kami pamit saja, semalat malam”. Ucap Ibu Annete disusul suami dan anknya. Dani yang berada paling belakan terpaku.
  Reyni menganggukkan kepalanya seperti mengisyaratkan kerelaanya melepas Dani.
  “Dani akan sering-sering tengok Papa Mbak”. Katanya dengan berat.
  “Ya Dan. Angguk Reyni melepaskan kepergiannya dengan linangan air mata.
  “Ooh! Syukurlah keadaannya tidak segawat yang kubayangkan”.  Bisik Ibu Annete seraya menggamit suami dan anaknya.
  “Annete, kamu tak apa-apa Nak?”
  “Ah, tidak apa-apa Ma. Yah ada rasa kasihan, bagaimana pun Faisal pernah Annete cintai. Tapi Annete sudah singkirkan perasaan kehilangan ini. Yang terbaik memang kami berpisah, apalagi Reyni menunjukkan kesungguhan cintanya. Mudah-mudahan saja Faisal sadar dan tidak mengganggu kita lagi”. Kata Annete berharap. Diliriknya Dani yang berjalan dibelakang punggungnya.
  “kau anak Mama yang baik Dan. Memang sepatutnya kau menjenguknya. Sebab dia Ayah mu. Mama senang kau tidak mendendam dan membencinya. Tidak ada manusia yang sempurna termasuk Papa mu”. Kata Annete menasihati anaknya.
  Sendirian di dalam kamarnya Annete merenungkan segala sesuatu yang di alaminya. Seharusnya ia berlega hati mengetahui Reyni sudah kembali pada Faisal dan akan merawatnya. Tapi perasaannya masih gamang dan tak menentu. Penyelesaian yang diharapkannya tidak sesederhana itu.
  Apakah Reyni dapat mengendalikan Faisal dan mengembailkan kondisi jiwanya seperti sediakala, seperti saan Annete menjadi istrinya dan mereka belum bercerai? Kalau perceraiannya dengan Annete yang menjadi penyebab kekacauan jiwa Faisal, sudah pasti kelak Annete akan berurusan dengan mantan suaminya.
  Lantas, bagaimana pula dendam Faisal terhadap Reza? Apakah dengan mudahnya Reyni mengatasi dengan melenyapkan dendam suaminya? Selain itu, bagaimana pula Faisal menjalankan usahanya dalam kondisi seperti sekarang?
  Ah, segalanya masih membingungkan. Annete tak berdaya menemukan cara yang terbaik bagi  dirinya serta Faisal dan istrinya.

***

  Sore itu Annete menjenguk Reza. Ia tak mengira teman-teman Reza juga menjenguknya. Mereka masih mengenakan pakaian kerja, rupanya dari kantor mereka langsung ke rumah sakit.
  Kamar Reza selain diramaikan pembezuknya juga disemarakkan karangan bunga yang dikirim kenalannya. Keramaian suasana itu membuat Annete sungkan masuk ke dalam bergabung dengan teman-teman sekerja Reza yang tidak dikenalnya. Jadilah Annete menunggu pembezuk lainnya pulang.
  “Annete, kok diluar?”
  “eh, Pak Alam! Ya sebentar lagi saya masuk, masih ramai didalam, Pak! Kalau Pak Alam mau masuk silahkan duluan”. Katanya mempersilahkan. Mantan atasannya celingukan kedalam ruangan.
  “Ah, ya masih ramai, kalau begitu biarlah kita berbicang-bicang disini.
  “kamu baik-baik saja kan Annete?”
  “Ya Pak! Saya baik-baik saja”.
  “Maaf kalau saya sedikit ikut campur masalah pribadimu..”
  “Ah, tidak apa-apa Pak Alam, saya justru berterimakasih atas bantuan bapak selama ini meskipun secara tidak langsung”.
  “Nampaknya masalahmu agak rumit Ann. Saya tidak menyangka sejauh itu tidakan Faisal. Maaf ya, saya mengorek ketereangan dari Reza karena akhirnya dia tersangkut problem mu”.
  “Hm.. Sebenarnya saya juga menguping pembicaraan Pak Alam dengan Reza waktu itu. Lantas saya tegur anak saya yang merahasiakan tindakan Faisal terhadap Reza. Kebetulan orang tua saya mendengar dan memutuskan untuk bicara dengan Faisal”. Annete memaparkan kejadian yang di alaminya semalam.
  “Kalau begitu, untuk sementara masalahmu dapat dianggap selesai. Memeang tidak semulus perkiraan kita, kalau istri Faisal gagal, dengan sendirinya timbul persoalan batu lagi bagi keluargamu. Kita harapkan dia berhasil ya Annete”.
  “Dengan persoalan saya, Reza jadi sakit dan untuk beberapa saat Pak Alam kehilangan Reza di kantor. Saya tak enak sama Pak Alam dan juga Reza”.
  “Tak apa-apa Annete. Jangan merasa sungkan. Kami senang dapat menolongmu. Eh .. ngomong-ngomong apakah perkembangan terakhir itu sudah diketahui Reza?”
  “Belum Pak. Saya kira nantilah saya beritahu kalau kondisinya sudah membaik”.
  “Lho, jangan ditunda Ann, lebih cepat kau sampaikana alebih baik, supaya beban pikirannya berkurang. Dari pembicaraan kami, kami tangkap gelagatnya, Reza terus menerus merisaukan Fasial. Oh! Bukan dia takut di apa-apakan lagi, tapi dia merisaukan keselamatanmu Annete”.
  “Keselamatan saya?”
  “Ya, waktu saya berkomentar kalau tindakannya justru mengundang malapetaka, eh.. dia bilang tak mau di anggap bernyali kecil. Dia tetap mau membantu dan berhubungan denganmu. Pdahal anakmu juga sudah memperingatkannya. Ah, belum pernah saya lihat dia begitu ngotot dan penuh perhatian pada seorang wanita sejak istrinya meniggal. Barangkali.. Maaf, saya kok bicara menebak-nebak. Saya serahkan pada kalian berdua yang menjalaninya Lho, kamu juga menyadarinya kan Annete?”
  Annete terperangah kemanakah arah pembicaraan laki-laki separuh baya itu.
  “Baiklah, saya masuk ya? Nanti kamu belakangan lah”. Ucapnya bernada jenaka. Annete ternganga ditinggal sendirian.
  Selang beberapa saat, pintu terbuka dan Pak Alam keluar diikuti para karyawannya. Kamar Reza ditinggalkan kosong melompong. Aduh! Laki-laki itu sengaja memberinya kesempatan berdua-duaan dengan Reza. Menyadari hal itu Annete ragu-ragu masuk ke dalam.
  “Annete..” Panggil Reza yang tentu saja melihatnya sejak ia datang. Mau tak mau Annete masuk meskipun sempat terpikirkan untuk pulang.
  “Reza”. Panggil Annete jadi kebingungan bicara setelah menyadari makna ucapan Pak Alam.
  “Apa kabarnya Ann? Kamu baik-baik saja kan?”
  Annete tercengan ditanya begitu. Tangan Reza yang dilambaikan mengisyaratkan untuk mendekat.
  “Kamu baik-baik saja Ann?” Lagi-lagi Annete terkesima ditanya begitu.
  “Seharusnya akulah yang bertanya begitu padamu. Bagaimanakah keadaanmu? Sudah membaik?”
  “Setiap kau jenguk, rasanya aku bertambah baik”
  “Syukurlah kalau begitu.” Sahut Annete agak jengah.
  “Annete, apa kau ingat minyak angin yang kau pergunakan ketika aku sakit waktu itu?”
  “Ya, kenapa” Tanyanya polos.
  “Semalam aku merasa nyeri dan aku memintakan perawat mencarikan merek yang sama dengan yang kau pergunakan, tapi efeknya tidak sebaik dengan yang kurasakan, apa mungkin karena usapan tangan kamu ya?”
  Annete tidak menjawab, wajahnya dipalingkan agar rasa malu dan risihnya tidak terlihat jelas.
  “Annete, duduk disini. Kamu kok takut betul, apakah aku mengerikan?” Lagi-lagi Annete tidak mampu menjawab atau mengelak. Didekatinya Reza hingga tangannya dapat dijangkau Reza.
  “Maaf ya Ann, karena aku sakit kamu repot-repot menjengukku, kalau aku sehat kan aku yang datang menemuimu”.
  Annete berdesah. Hatinya berdesir saat tangannya digenggam Reza. Ada keinginan untuk menarik tangannya, tapi annete tak mampu melakukannya.
  “Jam bezuk hampir habis Rez, sebaiknya aku pergi sebelum di usir perawat”. Katanya beralasan. Perlahan-lahan Annete menarik tangannya dari genggaman tangan Reza, tapi Reza tidak melepaskannya.
  “Aku sudah minta pada perawat agar tidak membatasi kunjungan tamu-tamuku. Tak ada alasanmu ceoat-cepat pergi kecuali kalau Faisal mengancammu”. Reza menatapnya dalam.
  “Tapi itu tidak mungkin. Semalam kalian sudah membereskannya bukan? Istrinya sudah kembali dan berjanji pada keluargamu untuk tidak mengusik kehidupan kalian”.
  “Dari mana kau tahu? Dari Pak Alam?” Annete bertanya dengan kagetnya. Reza menggelengkan kepalanya. Senyumnya mencurigakan Annete.
  “lantas darimana kau tahu? Dari Dani? Eh.. Pasti tadi siang Dani menjengukmu sepulang sekolah. Dani yang menceritakannya padamu kan?”
  “Dani memang datang tapi Dani tidak menceritakan kejadian semalam”.
  Kalau begitu pasti Pak Alam kan? Beliau menyarankan aku menceritakannya padamu barusan saja”.
  “Ah, tidak. Tanyalah teman-temanku, Pak Alam tidak cerita. Tadi banyak orang, tidak etis lah beliau menceritakannya didepan teman-temanku. Bukan Pak Alam Ann”.
  “Habis siapa?” Desak Annete makin penasaran.
  “Hal itu tidak penting Ann, yang penting kan Faisal sudah ditangani istrinya. Apa kamu tidak bergembira dengan keadaan itu?”
  “Aku gembira, tapi tolong katakan siapa yang memberitahumu?”
  “Kau akan memarahinya atau menegurnya?”
  “Tida, tidak”. Sergah Annete.
  “aku hanya ingin tauh saja”.
  “Baiklah, aku akan membisikimu”. Kata Reza agak nakal. Annete merengut mendengar syarat itu. Ia menjaadi ragu-ragu tapi rasa kepenasaraannya tak hilang. Akhirnya dengan rikuh Annete menundukkan kepalanya dan mendekatkan telinganya ke bibir Reza.
  Ternyata Reza tidak membisikkan satu nama pun, bibirnya malahan mengecup pipi Annete.
  “Apa-apaan kamu Rez?” Annete menjauhkan kepalanya seketika. Wajahnya merah padam.
  “Aku sayang kamu ..” Reza berkata namun agak gugup. Tangan Annete yang gemetaran digenggam hangat oleh Reza. Dadanya bergemuruh tak terperikan. Annete dibuat malu, rikuh, dan salah tingkah.
  “Yang memberitahuku adalah orang yang jatuh hati padaku”. Sambungnya membuat Annete bertanya-tanya sendiri. Siapakah yang dimaksud Reza?
   “Siapa Reza? Tanya Annete dengan gemasnya.
  “Ayahmu”. Jawab Reza dengan cengar-cengir.
  “Papa? Papa yang memberitahu kamu?” Tanya Annete tak percaya.
  “Aku juga kaget ketika pagi-pagi beliau datang. Kukira beliau mau menegur kesalahanku karena mengajak Dani bersekongkol atau bikin anakmu berdusta pada kalian. Ya, aku dengarkan saja beliau bicara memberitahukan apa yang kau dengarkan dari pembicaraanku dengan Pak Alam. Nah! Aku makin ketar-ketir saja karena kalian sudah tahu perbuatan Faisal padaku.
  “Lantas?”
  “belakangan Ayahmu mengucapkan terimakasih dan simpatinya padaku. Ah, yang lainnya tak perelu lah kamu tahu, pembicaraan antar sesama laki-laki”. Ucap Reza sambil mengerlingkan matanya.
  “Annete terdiam. Antara malu dan rikuh. Reza diliriknya sekilas. Ketika lengah, segera ditarik tangannya dan laki-laki itu bereaksi dengan tawa spontannya.
  “Aku pulang Reza”. Pamitnya tergesa.
  “Aduh! Jangan terburu-buru. Aku akan memberitahu pembbicaraan kami kalau kamu tidak pulang, ayolah”. Bujuk Reza semanis madu. Annete tidak menghentikan langkahnya.
  “Annete! Annete! Aduhh..! Teriakan Reza yang amat keras mengagetkan Annete, dipalingkan wajahnya dan seketika tubuhnya berbalik cepat ke pembaringan, dilihatnya Reza berusaha untuk bangun dengan susah payah.
  “Jangan bangun Reza. Kamu kan masih sakit. Mau kemana sih kamu?” Tanya Annete sambil membantu Reza merebahkan tubuhnya kembali.
  “Aku tak mau kemana-manaa, aku hanya tak mau kau tinggalkan”. Katanya konyol. Spontan Annete tertawa, sama sekali tidak disadarinya kedua tangan Reza mencekali lengannya supaya tidak kabur.
   “jangan menggombal! Seperti anak remaja Rez. Aku kan tak mungkin selamanya disini”>
  “Ya aku tahu, tapi kan tidak secepat ini kau pulang, paling tidak sejam lagi”.
  “Apa?” Mata Annete membelak galak.
  “Aduh! Kalau kamu marah begini tambah cantik saja.. aduuuhh, kau..kau memukulku? Aku sekarat begini kau masih tega menyakitiku?”
  “Oh! Maaf, habis kamu nakal sekali padaku”. Gerutu Annete makin salah tingkah. Pukulannya memang cukup keras. Tak sadar tangannya mengusapi dada yang dipukulnya. Pada detik berikutnya Reza nekad mengecup Pipi Annete dengan sekali mengangkat kepalanya.
  “Reza! Lagi-lagi Annete memukul lebih keras dari sebelumnya karena keterkejutannya akan serangan laki-laki itu. Karuan saja Reza memekik kesakitan. Wajahnya meringis-ringis.
  “Sakit-sakit kok bemesraan?”  Gerutu Annete dengan mencibir.
  “Sudahlah jangan berpura-pura kesakitan”.
  “Habis kamu tidak juga menyatakan perasaan mu padaku. Kau juga sayang aku kan Annete?”
  “Haah? Tidak! Bantah Annete masih galak.
  “Apa? Tidak? Ahh.. mengakulah, aku sudah dapat membaca sikapmu”.
  “Eeeh.. kok kamu maksa? Aku kan sudah bilang tidak, lihat saja bagaimana aku kau cengkram kuat-kuat? Mana bisa aku bersimpati kalau ... Adduhh..!! Annete dibuat terkejut mengahadapi reaksi Reza yang seketika melepaskan cekalan tangannya dan memintanya untuk menyatakan cintanya langsung padanya.
  Binar mata Annete menembus tatapan Reza yang begitu dalam. Tubuhnya bergetar. Baru saja bibirnya digerakkan namun dikatupkan kembeali.
  “Apakah cinta harus dikatakan?”Tanya Annete menantang. Sebelum Reza menjawabnya mendadak kepala Annete menunduk dan bibirnya sekilas mengecup bibir Reza.
  Reza pun tidak tinggal diam dan bereaksi cepat, bibirnya menyambar bibir Annete dan mengecup dan melumatnya dengan penuh perasaan.
  Tangan Reza pun bereaksi, tangan yang satunya memegangi kepala Annete semakin agar ciuman mereka tak terlepas, dan tangan Reza yang yang satunya mulai bermain-main tepat menyentuh buah dada Annete, dan Annete pun terkejut seketika.
  “Oughh.. Rezzz..! Sekejap Annete melepaskan bibirnya dari lumatan bibir Reza.
  “Nakal sekali kamu Rez..! Ucap Annete yang saat itu wajah mereka masih saling berdekatan.
  “Annete.. ! kata Reza sejenak dan kembali tangannya memaksa kepala Annete untuk menunduk dan melumat bibir Annete.
  Tangan nakal Reza mulai meraba-raba kembali mencari ujung buah dada Annete, dan tangan Reza berhasil melepaskan tiga kancing kemeja yang dikenakan Annete. Belum cukup sampai disitu, Annete terengah ketika tangan Reza berhasil masuk ke dalam baju Annete. Dan jemarinya menelusup kedalam BRA yang dikenakan Annete.
  “Oooughhh! Rezz..! aghh..! Annete tersentak, manakala putingnya diremas dan dipilin-pilin oleh Reza. Entah mengapa Annete tidak menolaknya tapi justru membiarkan tangan Reza labih leluasa bermain di buah Dadanya.
  Tidak terduga pada saat bersamaan pintu kamar terbuka, ter dengar suara perawat.
  “Maaf jam bezuk sudd..dahh...”
  Terhentinya suara perawat bertepatan pula dengan terlepasnya kecupan mereka. Bukan main malunya Annete, sampai ia tak berani melihat si perawat. Untunglah si perawat cepat pergi, mereka ditinggalkan berdua untuk menyelesaikan segala sesuatunya, setelah diperingatkan.
  “Akk.. Aku pulang saja”. Kata Annete sambil membetulkan kacing bajunya begitu gugup dan malu. Langsung saja dia kaluar, tak dihiraukan panggilan Reza dan permintaan Maaf nya. Ooh! Dia benar-benar malu, rasanya belum pernah dia dipermalukan seperti tadi.

***

  “Papa telepon ke kantor katanya kamu sudah pulang?” Pertanyaan itu menyanbut kepulangan Annete.
  “Annete kan kerumah sakit menjenguk Reza Pa”.
  “Oya, hampir lupa. Apa barusan diluar kamu berpapasan dengan Reyni?”
  “Reyni? Tidak. Memangnya kenapa Reyni kesini?” tanyanya kaget bercampur tegang. Ada apa lagi wanita itu datang? Apakah membawa persoalan baru?
  “Dia minta bantuan Papa untuk menjualkan perusahaan mereka, maksudnya Reyni mau membawa Faisal pindah ke tempat lain. Selain utnuk melupakan kenangan buruk, telah dipikirkannya caara itulah yang paling memingkinkan menjauhkan Faisal dari orang-orang yang bisa memperparah kondisi jiwanya. Misalkan dari kamu Dani dan Reza”.
  Annete takjub mendengarnya sampai mulutnya ternganga. Faisal akan dibawa pergi ke tempat yang jauh. Itu baik juga. Tapi tak urung hatinya agak kacau membayangkan dia benar-benar ‘berpisah’ dengan orang yang pernah menjadi suaminya. Belasan tahun lamanya mereka hidup bersama. Mengapa awal yang baik di akhiri dengan sesuatu yang buruk? Tapi dibalik semua itu, ada hikmah yang dipetiknya.
  “Annete, kamu tak apa-apa Nak?” tanya Ibunya bersimpati. Sebagai sesama wanita Ibunya dapat menangkap perasaannya.
  “Apakah Dani sudah diberitahu Pa?”
   “Sudah. Papa kira dia sudah dewasa dan dengan jiwa besarnya dia bisa menerima perpisahannya dengan Papa nya. Reyni juga berjanji akan memberika alamatnya dan kapan saja Dani mau menjenguk Faisal akan diterimanya dengan tangan terbuka”.
  “Bagaimana dengan Papa yang dimintai pertolongannya untuk menjualkan perusahaan mereka?”
  “Bukan hal yang sulit, kita beli saja dan kita gabungkan dengan perusahaan kita, beres kan?”  Kata Ayah Annete dengan riang. Annete menganggukkan kepalanya berulang-ulang. Sekarang ia benar-benar lega menghadapi hari-harinya. Wajah Reza kembali terbayang, kali ini disusupi rasa rindu dan cinta.
  “Seharusnya kamulah orang yang pertama diberitahu Papa mu Anne”. Tambah Ibunya menarik perhatian Annete akan berita kedatangan Reyni.
  “jadi, bukan Annete yang tahu terlebih dahulu? Kalu begitu siapa?”
  “Papa mu langsung menelpon kerumah sakit dan memberitahu Reza!”
  “Aduh! Papa!” pekik Annete dengan wajah brsemu merah. Ayahnya benar-benar jatuh hati pada Reza. Jangan-jangan itulah syarat beliau dalam merestui hunbungan mereka.

***


  Annete baru saja masuk kedalam kamar pengantin malam itu setelah tamu-tamu pulang. Rupanya Reza sudah menunggunya didalam kamar dan lansung menyergapnya dengan agresif.
  “Aduh! Apa-apan Rez! Kamu benar-benar tak sabar menunggu aku berganti pakaian..” Katanya mengelakkan bibir Reza.
  “Habis kamu bikin aku gemas saja, sekarang aku sudah berhak menciummu, kamu tak boleh mengelak lagi”. Katanya membisik penuh gairah.
  Annete terkikik-kikik geli mengingat rasa malunya saat dipergoki perawat pada ciuman bibir mereka yang pertama kalinya. Sejak saat itulah Annete mati-matian menghindari bibir Reza. Sekarang laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu menagih tuntutannya serta apa yang menjadi haknya.
  “Ahh.. tunggu. Romantis sedkit kenapa sih Rezz.. kamu seperti orang ketinggalan kereta saja, grasa-grusu begitu. Ingat, ini tercatat dalam sejarah kita, ciuman yang kedua ini..hihihi..” Annete menggoda Reza habis-habisan. Yang digoda terang saja ia mencak-mencak, semakin gemas dan gregetan.
  “Oke, aku siapkan diriku menerima ciumanmu dalam bebrapa menit ini”. Ucap Annete mengalah. Ditariknya nafasnya dalam-dalam dan dihembuskannya perlahan-lahan.
  Kemudian tangannya dilingkarkan ke leher Reza dan terakhir kepalanya didongak-kan.
  “Ehm.. aku ingin kau cium setelah mengenakan gaun tidur yang lembut, transparan dan berwarna pink, kau bisa menungguku berganti pakaian Sayang?” Reza mengalah demi memenuhi keinginan Istri tercintanya.
  Tapi Reza mulai curiga dengan ulah Annete ketika persiapan mereka digagalkan karena mendadak istrinya ingin Pipis.
  Makanya saat Annete keluar dari kamar kecil, Reza langsung menyergapnya dan langsung mencium bibirnya bertubbi-tubi. Semula Annete gelagapan dan memprotesnya, tapi akhirnya dibalasnya kecupan hangat Reza dengan bergairah.
  “Ohhh... Nakalnya kamu...”
  “Akan tercatat dalam sejarah bahwa ciuman kita yang kedua didepan kamar mandi, habis kamu pipis saking tegangnya menghadapi malam pengantin kita... Ooohhhh...” Reza tidak dibiarkan mengoceh berkepanjangan karena bibir Annete menyumbatnya dangan ciuman yang paling indah dan mesra. Keduanya pun larut dalam gairah yang meledak-ledak. Kemesraan menautkan dua hti yang dilanda CINTA.

SELESAI