Cinta Yang Terenggut (Fredy S) - Bagian 5

FREDY S.
CINTA YANG TERENGGUT



Cerita ini adalah fiktif, bila ada persamaan nama, tempat maupun peristiwa, itu hanyalah kebetulan belaka, dan tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Bagian 5

  SUASANA diruang amakan agak berbeda dari ahri-hari bisanya. Karena ada tambahan dua orang yang cukup istimewa. Yang pertama adalah Dani dan yang kedua adalah Reza.
  Ayah dan Ibu Annete duduk berdampingan. Annete dan Dani berada didekat Ibu Annete sementara Reza duduk di apit Ayah Nanete dan Dani. Lima pasangan mata saling melirik satu sama lain ketika Ibu Annete menuangkan nasi ke piring mereka.
  “Silahkan, jangan sungkan-sungkan Nak Reza. Bagaimana? Sudah baikan setelah beristirahat semalam?”
  “Ya Bu, sudah baikan”. Jawab Reza agak kikuk.
  “Keterlaluan mereka, yang salah itu mereka , kok berani-beraninya menghajar kamu Rez, main keroyok lagi”. Gerutu Annete sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya.
  “Sudahlah Ann, yanng itu jangan dibahas lagi, mendingan yang dibahas kehisupan Nak Reza. Bayangkan saja Rez, masakah kalian sudah cukup lama bekerja sama tapi Annete tidak tahu dimana rumahmu, nomor teleponmu dan lain-lainnya. Apa tidak keterlaluan itu?” Tanya Ayah Annete  memunculkan senyum sang anak.
  “Bilang saja Papa mau bertanya pada Nak Reza, dimana rumahnya, nomor teleponnya berapa, istrinya siapa, berapa anaknya..” sela Ibu Annete.
  “Mama! Kok kayak sensus saja”. Sergah Annete menderaikan tawa yang mendengar. Reza yang senyum-seyum dikulum tersipu ketika Ayah Annete meminta jawabannya.
  “Ya om, Jawab dong, biar kita semua tahu”. Celutuk Dani agak nakal. Tak ada yang tahu kalau Dani mengedipkan sebelah matanya.
  Lantas Reza menyebutkan alamat rumahnya, nomor teleponnya, dan gambaran kehidupan pribadinya sekilas saja.
  “Maaf, kalau kemarin saya tidak bisa menyebutkannya karena percuma saja dibawa pulang. Hanya ada pembantu tua..”
  “Lha, Istri dan anak Nak Reza kemana?”
  “Anak saya studi ke luar negeri. Dan istri saya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena penyakit ginjalnya”.
  Annete terkesiap mendengarnya sedang orang tuanya memekik lirih.
  “Kasihan, kami ikut berduka mendengarnya. Kami sama sekali tidak tahu, Annete yang kami tanyai juga tidak tahu”. Ucap Yah Annete kemudian.
  “Kami tak dapat melawan kehendak Tuhan dan saya pribadi dapat menerima kenyataan itu”.
  “Aminnn..” Cetus Dani mengagetkan Annete yang mengira anaknya bercanda. Disikutnya lengan Dani sebagai peringatan.
  “Seharusnya memang begitu, kita ikhlaskan kepergiannya”. Kata Ibu Annete merasa terharu. Percakapan mereka usai bersamaan dengan usainya sarapan.
  Annete berpamitan pada kedua orang tuanya disusul Dani dan Reza. Ketiganya masuk ke dalam mobil yang semalam nyaris tertabrak. Setelah mobil melaju, Dani menyebutkan alamat sekolahnya dan Reza mengarahkan tujuan mereka kesana.
  “Om Reza, tolong ke sekolah Dani dulu ya..”
  “Eh.. Kantor Mama kan lebih dekat Dan? Kamu kok tidak kasihan Om Reza jadi mutar-mutar?”
  “Tak apalah Ann, lebih baik kita anatarkan Dani terlebih dulu, kalau terlambat dia masuk sekolah nanti ditegur Gurunya,” Timpal reza kompak. Dani tersenyum senang. Annete melirik kedua laki-laki didekatnya dengan lagak curiga tapi Dani Cuma cengar cengir saja.
  Mobil Reza meluncur terus sampai ke sekolah Dani. Setelah Dani diturunkan, Reza tak cepat-cepat menginjak pedal gasnya. Annete meliriknya keheranan.
  “Kenapa Rez?”
  “Sepertinya .. aku tak bisa cepat-cepat mengantarkanmu ke kantor. Tak apa-apa kamu naik taksi Ann?” Tanya Reza dengan wajah meringis.
  “Kamu.. kenapa?” tanya Annete mulai cemas.
  “Aduh! Mengapa kalau masih sakit kamu memaksakan diri mengantarkan kami?”
  Reza mendekap kedua perutnya dengan kedua belah tangannya. Sebelumnya sudah merasakan sakitnya, tapi Reza tidak menganggap serius, dikiranya rasa nyerinya akan berangsur mereda.
  “Aduh! Tak tertahankan Reza memekik, tangannya mendekap perutnya dengan wajah memucat.
  “Mana kotak obatmu Rez?” Tanya Annete tak tinggal diam menyaksikan Reza kesakitan. Kepalanya celingukan ke sekitarnya. Kotak obat Reza ditemukan tergeletak di jok belakang. Buru-buru Annete mengambilnya dan mengacak isinya sampai didapatnya sebotol minyak angin.
  “Sini.. kupakaikan Rez..” Annete mendekatkan tubuhnya. Perlahan-lahan tangan Reza dilepaskan dari perutnya. Dibiarkannya Annete membuka kemejanya, membubuhkan minyak angin ditangannya lantas perutnya di usap-usap.
  “Aku takkan tinggal diam kamu disini dalam keadaan begini Rez. Kalu terejadi sesuatu dengan dirimu..”
  “Aku pikir, biar kamu pergi ke kantormu dengan taksi, sementara aku disini menunggu Dani hingga pulang”. Kilah Reza masih meringis-ringis.
  “Mana bisa begitu? Lihat perutmu memar begini”. Omel Annete. Sambil mengomel, tangannya tetap mengusapi perutnya. Kelihatannya rasa sakit yang diderita Reza mulai berkurang bila melihat ekspresi wajah dan kelopak matanya yang terkatupkan.
  “Ann..” Panggil Reza dengn membuka kelopak matanya. Usapan tangan Annete terhenti.
  “Sudah baikan Rez?”
  “Hmm.. kalau tidak di usap tanganmu, kok kambuh lagi sakitnya..”
  “Apa? Kamu main-main Ya?”
  “Aduh! Jangan menuduhku begitu, masakah aku main-main? Kamu kan yang melihat memarku sampai membiru. Cobalah kau bayangkan ulu hatiku disodok tendangan orang kalap pas aku tidak siap? Sakitnya sungguh luar biasa sampai aku terkapar”.
  “Ya, aku tahu. Tapi kamu jangan bercanda”.
  “Aku tidak bercanda Annete!  Bukannya aku memanfaatkan kebaikanmu. Tapi.. Entah.. ada efek psikologis. Rasa nyeriku berkurang kalau kau usap. Yah, kalau kamu keberatan tak apa-apa. Oya Ann, sudah siang, apa sebaiknya kamu bereangkat ke kantormu?”
  “Aku akan pergi kalau kamu sudah baikan”. Kata Annete perlahan. Lantas di usap-usap lagi perut Reza dengan lembutnya. Reza menatapnya sendu. Terasakan desiran halus didada Annete.
  “Terimakasih Ann, kamu begitu baiknya padaku”. Bisiknya lirih.
  “Kamu juga baik padaku. Kalau kamu tidak membantuku..”
  “Ah, aku membantumu kan karena instruksi dari Pak Alam”.
  Annete mengernyitkan dahinya. Usapan tangannya terhenti. Kelopak mata Reza terbuka lagi, dua pasang mata bertatapan begitu dekatnya.
  “Betulkah itu Rez?” Tanya Annete seakan tak percaya.
  “Jadi kau membantuku karena instruksi Pak Alam, bukan karena kamu juga tergerak membantuku?”
  “Astaga! Reza jadi blingsatan menyadari makna tertentu dari pertanyaaan-pertanyaan wanita itu. Maksudnya untu merendahkan diri, tidak menyombongkan kemampuannya dalam menolong Annete, tapi ditafsirkan berbeda seakan pertolongannya hanya karena instruksi dari atasannya.
  “Annete! Pekik Reza tertahan.
  “Aku tidak terpakasa menolongnu, aku..”
  “Sstt! Aku tahu, Rez. Makanya jangan terlalu sungkan padaku. Sakit saja kau tahan-tahan”. Tukas Annete berlagak mencak-mencak. Senyumnya dibalas senyum Reza yang mirip seringai.
  “Sudah baikan belum?” Tanyanya lagi melambatkan usapan tangannya.
  “Ya sudah”. Jawab Reza pasrah. Annete benar-benar mengenstikan usapan tangannya dan merapikan kemejanya.
  “Ku antar kau ke kantormu”. Katanya sambil menghambuskan nafasnya.
  “Jangan dipaksa Rez. Sebaiknya kamu beristirahat”.
  “Tidak, aku sudah baikan dan sudah bisa menyetir”. Putusnya berkeras. Annete tidak berdaya mencegahnya. Reza mengemudikan mobilnya pelan-pelan.
  “Lebih baik kita pulang ke rumahmu saja Reza. Aku bisa naik taksi ke kantorku. Kau harus bristirahat. Kalau kau antarkan aku kekantor dan lantas kamu pergi kekantormu, aku kuatir kamu kenapa-kenapa dijalan. Aayola, kita pulang kerumahmu, sekalian aku mampir kesana”. Kata Annete mengarahkan tujuan mereka. Kali ini Reza tidak membantah.
  Setibanya dirumah Reza, mobil disimpan digarasi dan tubuh Reza dipapah masuk kedalam rumah dengan bantuan pembantu Reza.
  “Hari ini kau tak usah masuk kantor, kamu perlu beristirahat. Nanti sore aku akan datang lagi mengantarkanmu ke doker.
  “Ah, tak perlu repot-repot Ann, kamu sendiri sibuk dengan pekerjaanmu. Kau tak perlu menemaniku ke dokter, aku bisa telepon ke kantor memberi tahu keadaanku dan minta dikirimkan dokter perusahaan. Terimakasih atas perhatian dan bantuanmu Ann. Sekarang kau sudah lega aku ada dirumah kan? Dan sebaiknya kamu berangkat ke kantormu Annete”.
  “Aduh! Kamu kok mengusirku?”
  “Oh! Maksudku bukan begitu, aku tak mau pekerjaanmu terganggu karena menguatirkan diriku terus-menerus”. Kilah Reza pula. Lantas tangannya begitu saja menyentuh jari-jemari Annete.
  “Kalau kamu mau berlama-lama disni, menjagaku, mengusapku kalau sakit, ya aku tak menolak”.
   “Reza”. Desis Annete mengerling. Dengan gerakan tangan yang tidak kentara, dijauhkan tangannya dari tangan laki-laki itu.
  “Baiklah, aku pergi Rez. Baik-baik ya kamu beristirahat”. Annete beranjak tapi langkahnya tertahan saat didengar Reza memanggilnya.
  “Ya, ada apa Rez?”
  “Terimakasih Annete!”
  Annete tersenyum rikuh, tubuhnya dibalikkan dan kakinya dilangkahkan keluar.

***

  Hari sudah sore ketika Annete pulang kerumahnya. Yang pertama dilihatnya diteras rumah adalah Dani. Anaknya itu sambil bermain gitar sambil bernyanyi-nyanyi.
  Sementara diruang keluarga, kedua orang tuanya sedang asik menonton televisi.
  “Tadi Papa kekantor?” Tanya Annete ikutan duduk. Ayahnya membenarkan dengan menganggukkan kepalanya.
  “Pap sudah mengira kamu mengurusi Reza yang masih sakit, jadi Papa menyusul kekantor dan menerima sejumlah pembayaran yang dijadwalkan hari ini, lantas Papa setor ke Bank, dari Bank Papa telepon ke kantor dan diberi tahu kalau kamu suda datang, karena itulah Papa langsung pulang”.
  “Ya, ditengah jalan Reza sakit. Annete paksa ia kerumahnya untuk beristirahat. Baru dari sana Annete ke kantor.
  “Sudah baikan Reza?” Tanya Ibunya yang rupanya menaruh perhatian pada Reza. Annete menganggukkan kepalanya. Merasa segan ditanyakan perihal Reza, Annete pun berlalu.
  Hari sudah gelap ketika Annete keluar dari kamarnya seusai mandi. Waktu makan malam, pikirnya sembari mengarahkan langkahnya ke ruang makan. Disana Ibunya sibuk menata meja makan. Dani sendiri sudah tak sabr ingin segera makan, melihat Ibunya muncul, dipanggilnya kakeknya untuk bergabung.
  Tak lama kemudia Ayah Annete muncul. Dani bersorak kegirangan. Tinggal Annete yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
  “Dani.. Dani .. sudak besar kok seperti anak kecil saja”.
  “Ehm! Ayah Annete berdehem cukup keras. Annete meliriknya keheranan. Bukankah Ayahnya belum menyuap makanannya, kok seperti tersedak saja?
  “Minumnya Pa”. Kata Ibu Annete seraya meletakkan segelas air putih didekatnya. Rupanya acara makan sudah dimulai. Dani melahap makanannya dengan asiknya.
  “Papa mau tanya kamu Ann”. Mengapa kamu tidak melaporkan pada Papa kalau penjegalan tempo hari, sebelum Papa masuk rumah sakit itu dilakukan Faisal?”
  “Apa?” Ibu Annete terpekik keras sampai nasi di sendoknya tak jadi dimasukkan ke dalam mulutnya. Annete melongo. Dani memperlambat kunyahannya sambil melirik kesana-sini.
  “Kenapa Annte?” Tanyanya dengan suara menghentak.
  “Kurang ajar si Faisal Mam!”
  Ibu Annete yang kaget tidak melontarkan kata-kata saking kagetnya. Annete pun jadi tegang. Nasinya hanya di aduk aduk saja. Hanya dani yang tetap mengunyah meski kunyahannya diperlambat.
  “Kalau tadi pagi Papa tak sengaja ke kantor atau bertanya sama anak-anak, entah sampai kapan Papa akan tahu karena kamu sengaja tidak memberitahu Papa mu”.
  “Waktu itu Papa baru masuk rumah sakit, saya mau memberitahukannya tapi ragu. Lantas karena sekarang sudah bisa saya atasi, saya pikir..” Annete tidak melanjutkan kata-katanya.
  Pada saat genting itulah terdengar dering telepon. Dani tersentak. Dengan refleksnya ia berlari untuk mengankat telepon dan menjauhkan dirinya dari situasi yang tidak mengenakan.
  Ketiga orang di ruang makan berdiam diri seakan menuggu Dani kembali. Praktis pembicaraan sebelumnya tidak dilanjutkan. Tak lama mereka menunggu terdengar suara langkah setengah berlari dan suara dani berpamitan.
  “Opa, Oma, Mama, dani Dani pergi keluar sebentar..”
  “Kemana?” Tanya Annete.
  “Habiskan dulu makanmu Dan!”
  “Nanti sajalah, hanya sebentar kok Ma!”
  “Dani! Tunggu!” Annete mengejar anaknya. Sayang tidak terkejar, Dani melesat bagai anak panah  saja, begitu cepatnya dia menghilang.
  “Dani kemana?” Tanya Ibunya penasaran. Annete mengangkat bahunya.
  “Kita teruskan makan”. Ucap Ibunya menyeruapai instruksi. Ayah Annete mematuhi. Ditahankan keinginannya untuk bicara perihal Faisal. Annete sendiri berusaha melpakan ketegangan yang dirasakannya dengan menikmati makan malamnya.
  Sampai akhirnya makan malam sudah usai. Piring-piring kotor sudah Annete bersihkan, tapi Dani belum pulang juga. Aneh, janjinya hannya sebentar saja tapi kok yang ditunggu tidak muncul-muncul.
  “Kemana Dani Ann?”
  “Tidak bilang kemana, begitu saja kabur”. Keluh Annete kebingungan.
  “Ya.. ditunggu aja, barangkali sebentar lagi dia pulang. Anak jaman sekarang memang begitu. Mau pergi tidak bilang tujuannya, kalau kenapa-kenapa orang tua yang susah”. Omel Ayahnya belum melepaskan ganjalan dihatinya.
  “Ann.. apa kamu sering ketemu Faisal?” Tanya Ibunya kemudian.
  “Ah.. tidak pernah lagi Ma”.
  “akan kita balas dia. Tunggu saja, Papa sedang menghimpun kekuatan dan mencari caranya”. Kata Ayah Annete masih beremosi. Ibunya segera menenangkan dengan lembutnya.
  “Kataanya sebentar, sudah satu jam kok belum pulang?” Guman Annete pada diri sendiri. Dia mondar-mandir dengan lagak bingung.
  “Coba tanyakan teman-temannya Ann..”.
  “Apa Mama punya catatan nomor telepon teman-temannya?” Annete balik bertanya.
  “Masa mama punya catatan nomor telepon teman-temannya? Harusnya kamu yang tahu”. Tegur Ayahnya bikin Annete bertambah panik.
  “Seharian ini dia kemana aja sih Ma?”
  “Sepulang sekolah dia pergi, katanya kerumah Reza”.
  “Haah! Ke Rumah Reza? Ada apa dia kesana?”
  “Katanya mau menjenguk Reza”. Annete tercengan mendengar jawaban Ibunya. Ya, memang Dani menjenguknya. Tapi darimana dani tahu sehabis mengantarkannya k sekolah , Reza sakit? Annete teringat kerlingan mata anaknya ketika mereka berada dalam mobil, apalagi semalam juga keduannya sekamar.
  “Apa mungkin barusan Reza yang menelpon Dani?” Tanyanya menebak-nebak. Setelah dipertimbangkan, Annete menelpon Reza untuk menanyakan Dani. Pembantu Reza yang menererima telepon mengatakan Dani tidak datang dan Reza sedang tidur.
  Annete kecewa sekali. Ibunya segera menenangkannya. Mereka menunggu Dani dengan gelisah. Pukul sepuluh malam Dani pulang dengan tubuh letih, pakaiannya lusuh serta wajah kuyu.
  “Dani, kamu kemana?”
  “Ada teman yang kecurian Ma. Jadi Dani datang membantunya menghadapi polisi”. Jawabnya singakat sambil meminta Maaf. Seketika Annete pun terluluhkan.
  “Ya sudahlah, kamu masih lapar, Mama hangatkan sayur ya?”
  “Tak usah lah Ma. Dani mau tidur saja”. Katanya sambil ngeluyur masuk kekamarnya. Annete menggeleng-gelengkan kepalanya.
  Ke esokan harinya entah mengapa pagi-pagi Annete menelpon Reza. Lagi-lagi pembantunya yang mengangkat telepon, menyatakan majikannya masih tidur. Diam-diam Annete berencana mampir kerumahnya untuk memberikan suatu kejutan.
  Sayangnya Reza sudah berangkat saat annete tiba dirumahnya. Pembantunya menyatakan baru saja Reza pergi.
  “Hmm! Perginya tidak bawa mobil Bik?” Tanya Annete saat melihat mobil Reza ada digarasi.
  “Ya naik taksi Bu”.
  “Kenapa naik taksi? Masih sakitkah pak Reza?”
  “Kelihatannya masih sakit Bu”. Jawab si pembantu yang kelihatan agak bingung. Annete berpamitan dengan kecewanya. Rencananya memberikan kejutan gagal. Padahal ia mau membalas mau mengunjungi Reza sebagimana laki-laki itu kerap muncul dikantornya tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  Diliputi rasa penasaran, Annete menelpon Reza sesampanya dikantor. Jawaban operator agak mencengangkan. Reza belum datang.
   “Masa’ belum datang? Barusan saya cek kerumahnya, dia sudah bernagkat”. Protesnya pula.
  “Barangkali masih dalam perjalanan atau beliau mampir ke suatu tempat”. Jelas operator.
  Hingga Annete tidak ingat lagi menelpon Reza karena kesibukannya bekerja. Sampai siangnya ia menerima telepon dari Ibunya.
  “Kalau kamu sudah makan siang, cepatlah susul Papa mu kerumah sakit”.
  “Hah! Papa masuk rumah sakit lagi Ma?”
  “Bukan. Tapi Reza Ann..! Mama sendiri tidak begitu jelas sakitnya apa, apakah akibat pemukulan tempo hari. Yang jelas tadi pagi Papa mu ditelepon wali kelas Dani yang menanyakan ketidak hadiran anakmu. Papa mu kaget tidak mengira Dani membolos. Nah, barusan Dani pulang seperti tak ada apa-apa. Makannya juga lahap seperti biasanya, jadi Papa mu curiga dan mengamati gereak-geriknya. Setelah makan, Dani pergi, Papa mu mengikutinya. Dan tadi Papa mu baru menelpon Mama untuk memberitahu dan menyuruh kamu menyusul kerumah sakit. Dari ru,ah sakit Papa mu susah sekali menghubungimu karena line teleponmu sibuk”. Jelas Ibu annete menyebutkan nama rumah sakit dimana Reza dirawat.
  Annete menyanggupi untk menyusul Ayah anaknya secepat mungkin. Dibereskan pekerjaannya dengan pikiran yang bercabang karena ulah anaknya. Ada apa Dani berbohong padanya dan pada oranag tuannya?  Malahan sampai membolos segala. Dan mengapa Reza berada dirumah sakit kalau sebelumnya dia sudah membaik dan bisa berangkat ke kantornya untuk bekerja seperti biasanya? Diburu pertanyaan-pertanyaan itulah Annete pergi ke rumah sakit.
***
  Tergopoh-gopoh Annete menyusuri korindor rumah sakit. Dicarinya kamar perawatan Reza dengan kepala celingukan. Larinya dipercepat ketika kamar yang dicarinya sudah terlihat.
  “Ooh! Ya Tuhan! Pekik Annete ketika masuk kedalam kamar perawatan Reza dan mendapatkan laki-laki itu terbujur dengan balutan perban dan luka-luka yang cukup parah.
  “Pa, Dani! Reza kenapa?” Tanyanya pada dua orang yang mematung disisi pembaringan.
  “Dani!” Panggil Annete sambil mengguncang lengan anaknya. Ayahnya menghela nafas dan mengisyaratkan mereka keluar agar tidur Reza tidak terusik.
  Beriringan mereka keluar menuju taman disisi rumah sakit. Annete sudah tak sabar ingin mengetahui latar belakang kejadian itu. Ayahnya menunjuk Dani untuk menjelaskan.
  “Dani juga tak tahu, kemarin Dani di telepon Om Reza minta bala bantuan. Ya Dani datang ke rumahnya. Ketika sampai Om Reza sudah dalam keadaan begitu, jadi Dani bantu mengantarkannya ke rumah sakit. Terus paginya Dani jenguk lagi untuk menanyakan, eh.. dia masih berada di ruang ICCU. Waktu Opa datang, baru saja Om Reza dibawa ke ruang perawatan jadi Dani belum sempat bicara banyak”.
  “Mengapa kamu tidak ceritakan kalau semalam Reza babak belur dan terluka?” Tanya Ayah Annete agak marah.
  “Karena.. permintaan Om Reza sendiri”.
  “Apa semalam dia masih bisa bicara dan kamu tidak mengorek keterangan mengenai musibah yang di alaminya?” Tanya Annte yang dijawab dengan gelengan kepala Dani.
  “Dani sudah tanya tapi dia tidak menjawabnya Ma!”
  Annete tidak berdaya. Dipalingkan wajahnya ke arah Ayahnya yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
  “Saya mau tunggui Reza Pa. Papa sama Dani pulang saja”. Katanya dengan wajah keruh. Ayah Annete diam saja, membiarkan anaknya pergi.
  Annete balik ke kamar Reza. Ditariknya satu-satunya kursi yang ada kesisi pembaringan. Dengan hati-hati dipegangnya jari-jemari Reza yang tidak bergerak.
  Lama sekali ditungguinya Reza dengan perasaan berkecamuk. Bingung, sedih, kalut, marah dan tak percaya. Annete juga berusaha menebak-nebak beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi dibalik musibah beruntun yang dialami Reza.
  Tersentak Annete merasakan jari-jemarinya digenggam tang Reza yang sudah bergerak. Rupanya Reza mulai tersadarkan. Dengar saja gumamannya, meski tidak jelas tapi menunjukkan tanda-tanda siuman.
  Annete menatapinya dengan mata yang nyaris tidak berkedip. Bagaimana bibir Reza bergerak-gerak, lantas kepalanya ikut bergoyang dan terakhir kelopak matanya perlahlan-lahan membuka.
  Beberapa saat Annete menunggu reaksi Reza. Mudah-mudahan saja Reza masih mengenalinya. Kalau tidak, pastilah dia gegar otak.
  “Annete...” leganya Annete mendengar namanya dipanggil dengan sempurnanya.
  Mata Reza mengerjap beberapa kali. Dilarikan pandangannya disekelilingnya.
  “Kamu ada di rumah sakit Reza”. Annete memberi tahu.
  “Dani kemana?” Tanyanya membingungkan Annete. Mengapa anaknya yang ditanyakan dan pemberitahuannya tidak terlalu ditanggapi?
  “Dani ada, sejak pagi kan menungguimu. Tadi baru saja ku suruh pulang supaya bisa bergiliran menungguimu”. Jawab Annete.
  “Ada perlu apa kamu sama Dani? Kalau ada permintaan janganlah sungkan memintanya padaku. Lho kok diam saja Rez? Kamu kenapa? Ceritakanlah padaku apa yang sudah terjadi?”
  “Aku tak apa-apa Annete. Nantilah kuceritakan kalau sudah sembuh, aku janji”. Katanya dengan suara lirih.
  “Hmm.. Bagaimana dengan putrimu Reza? Apakah mau kau beritahukan dia tentang keadaanmu?”
  “Jangan Ann, Tak usah lah. Terimakasih atas perhatianmu. Aku jadi terharu kau begitu memperhatikanku Annete. Bolehkan aku meminta satu hal padamu?”
  “Permintaan apa? Katakanlah reza?”
  “Kamu bisa sering-sering menjengukku Ann?”
  “Oya, Bisa.. bisa Rez, mau kubawakan apa kalau datang? Buah-buahan atau..”
  “Aku sudah cukup bahagia kau datang, jangan bawa apa-apa, bawa saja dirimu”.
  “Aduh! Sakit-sakit begini kamu masih bisa bercanda. Tentu saja aku datang membawa diriku”. Tanggap Annete dengan senyum gelinya. Mereka berbicara hal-hal yang menyenangkan untuk menghibur Reza. Ketika Annete berpamitan, Reza melepaskan dengan tatapan matanya.
  Termangu-mangu Annete menyusuri koridor rumah sakit sampai suara panggilan seseorang menyentaknya.
  “Aha! Benar, kamu Annete kan?” Tanya seorang laki-laki setengah baya yang bertubuh subur.
  “Pak Alam! Apa kabar? Mau menjenguk siapa? E-eh.. kapan kembali dari Amerika?” Tanya Annete bertubi-tubi dengan suara memekik.
  “Wah! Wah! Pertanyaanmu bertubi-tubi, saya kebingungan menjawabnya. Begini, kemarin saja tida di jakarta dan tapi pagi saya mulai ngantor. Saya tunggu-tunggu kok Reza belum juga datang, saya telepon kerumahnya kata pembantunya sudah berangkat. Masakah tidak sampai-sampai ke kantor biarpun kemacetan disana-sini? Lalu saya telepon lagi pembantunya, eh.. jawabnya begitu juga. Saya jadi kesal, saya datang kerumahnya, barulah pembantunya mengaku disuruh berkata begitu pada siapa saja yang menelpon. Tapi berhubung yang datang itu saya, dia mau memberitahaukan keadaan sebenarnya kalau Reza masuk rumah sakit karena semalam didatangi beberapa orang yang menghajarnya sampai babak belur”.
  “Ooh! Jadi... Mengapa mereka... mengahajarnya Pak Alam?”
  “Justru itulah yang ingin saya ketahui, makanya saya datang menjenguknya. Ngomong-ngomong apa kamu sudah tahu latar belakang pemukulan semalam Ann?”
  “Wah! Saya belum tahu, tadi saya mendesaknya tapi dia tak memberi tahu, katanya nantilah akan diceritakan kalau sudah sembuh”.
  “Begitukah? Huuh! Ada-ada saja. Okelah Ann, saya mau menjenguknya, kapan-kapan kita ngobrol ya?” Annete menganggukkan kepalanya mempersilahnkan mantan atasannya untuk mejenguk Reza. Dia sendiri berjalan keluar rumah sakit.

Bersambung...