Cinta Yang Terenggut (Fredy S) - Bagian 3

FREDY S.
CINTA YANG TERENGGUT



Cerita ini adalah fiktif, bila ada persamaan nama, tempat maupun peristiwa, itu hanyalah kebetulan belaka, dan tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Bagian 3

  Deg! Jantung Annete berdegup amat kencang. Wajahnya memucat. Ketegangan dalam dirinya memuncak. Kurir Ayahnya yang ditugaskan mencari tahu siapa pemilik agen yang menjegal pendistribusian barang-barangnya menundukkan kepalanya dalam-dalam.
  “Jadi, pemilik sebelumnya sudah menjual agennya pada..pada..”
  “Ya Bu, Pada pemilik yang baru, namanya Faisal Sumampau”. Ulang si kurur takut-takut.
  Bergemuruh dada Annete mendengar nama yang satu itu dan kenyataan yang sedang dihadapinya.  Dengan punggun tangannya dihapus keringat yang membasahi leher dan dahinya. Nafasnya memburu. Ditariknya nafas pendek-pendek. Dihela nafasnya agak tertahan, tidak lepas sebagaimana biasanya. Ughh! Dia begitu panik menghadapi krisis tersebut.
“Baiklah, kembalilah bekerja, kalau ada tugas lain, nanti akan saya beritahu”. Kata Annete mengusir anak buahnya. Buru-buru ditelepon Ayahnya untuk melaporkan perkembangan terakhir yang didapatkannya. Sayangnya, Annete menerima berita yang lebih buruk dari rumahnya. Ayahnya terjatuh dikamar mandi dan baru saja dibawa kerumah sakit.
  “Mama tak sempat menelponmu karena begitu terburu-buru mengurusi Papa mu. Kebetulan Mama baru pulang untuk mengemasi pakaiannya. Ada apa kamu mencari Papa mu Ann?”
  “Hmm.. persaan saya tak enak Ma, jadi saya telepon. Oya, dimana Papa dirawat? Saya langsung kesana”. Tanya Annete berniat menyusul kerumah sakit.
  Sepanjang perjalanan hati Annete gelisah. Masalah yang dihadapinya bertubi-tubi sejak perceraian dengan Faisal. Sepertinya mantan suaminya sakit hati atas campur tangan Ayahnya dalam menyelesaikan perceraian mereka. Barang-barang yang dibawa pergi oleh Faisal hanyalah pakaian dan keperluan pribadinya sehari-hari. Tidak lebih dari itu. Harta berupa barang tak bergerak yang berasal dari orang tua Annete tidak bisa diklaimnya sebagai miliknya.
  Sakit hati Faisal berlarut-larut dengan diketahuinya Annete terjun dalam bisnis Ayahnya. Entah bagaimana caranya, manatan suaminya mengetahui sepak terjangnya. Tahu-tahu Annete mengalami kesulitan besar dalam memasarkan barang-barangnya. Toko, Supermarket atau Toserba yang menjadi pelanggan mendadak menghentikan permintaan atau kiriman barang.
  Lantas Annete menugaskan karyawannya untuk menyelidiki. Hasilnya amat mengejutkan. Para pelanggannya sudah mendapatkan pemasok baru yang menawarkan harga barang lebih miring dari agennya. Harga yang ditawarkan tidak main-main, harga modalnya! Kalau Annete mau berperang harga dengan menurunkan harganya, matilah bisnis Ayahnya.
  Dalam kebingungan , kepanikan dan ketidak mengertiannya Annete bertahan untuk sementara. Dia berusaha mencari pelanggan baru tapi belum banyak berhasil. Hanya beberapa toko kecil yang bisa digaetnya menjadi pelanggan.
  Masih ada tindakan yang dapat dilakukan. Annete mengirimkan kurir untuk menyelidiki aagen pesaingnya yang entah sengaja atau tidak menjegal kegiatan bisnisnya dengan cara tidak fair.
  Dan barusan diketahui kunci permasalahan yang dihadapinya. Agen pesaing baru saja di kuasai Faisal, mantan suaminya. Lamunannya buyar setelah Annete tiba dirumah sakit. Ditemuinya Ayahnya yang terbaring dengan wajah pucat.
  “Ahh, Papa tak apa-apa, hanya kaki Papa sedikit terkilir saja, Mama mu sudah panik dan berkeras membawa Papa kesini. Nah! Itu Mama mu baru datang!”
  “Sudah lama Anne?” Tanya Ibunya langsung membenahi pakaian dan barang-barang yang dibawanya.
  “Baru saja Ma”. Jawab Annete sambil membantu Ibunya.
  “Bagaimana order yang masuk hari ini Ann?”
  “Aduh! Papa ini, jangan memikirkan bisnis. Biar semuanya diurus Annete. Papa kan baru mengundurkan diri, beri kesempatan yang muda-muda untuk menangani bisnisnya. Percayalah, Mama lihat Annete mampu kok”.  Kata Ibunya melirik suami dan anknya bergantian.
  “Ya, Mama bernar Pa, Papa jangan terlalu memikirkan bisnis kita. Papa perlu beristirahat biar cepat sembuh, pasti Annete akan melaporkan perkembangan terakhir usaha kita”.
  Firasat Papa kok tidak enak? Oya, bukankah hari ini kurur itu harus memberikan laporannya? Apa hasilnya Ann? Papa ingin Tahu, itu saja. Papa janji kalau sudah tahu soal itu, Papa akan tutup mata dan tutup telinga, semuanya biarlah kamu yang menangani. Nah, apa kata kurir kita Ann?”
  Annte ragu-ragu menjawabnya. Ibunya sudah menyela dengan menyarankan Ayahnya untuk diam, tidak bertanya soal bisnis sedikitpun. Bahkan dengan nada mengancam, Ibunya memberitahukan dirinyalah yang akan menemani suaminya malam ini dirumah sakit, supaya suami dan anaknya tidak berkesempatan berbincang-bincang perihal bisnis selagi dirinya tak ada.
  “Ah.. Mama”. Keluh Ayahnya memprotes.
  “Sudahlah Pa, yakinlah Annete bisa mengatasinya, bukankah Papa suadah mempercayakan usaha per-agenan itu pada Annete?” Tanya Annete memanis-maniskan senyumannya.
  Dihadapan Ibunya, Ayahnya menjadi tidak berkutik. Demikian pula dengan dirinya. Annete memustuskan untuk tidak memberitahukan perkembangan terakhir pada Ayahnya. Terlalu riskan sebab menyangkut mantan suaminya.
  Setelah cukup lama berbincang-bincang, Annete pulang. Tapi ia tidak pulanag kerumah melainkan ke kantornya. Disana ia merenung lama sembari membolak-balik tumpukan berkas dimejanya. Sampai suntuk kepalanya mempelajari isi berkas yang menggambarkan kekacauan bisnisnya, sepinya order, harga-harga penjualan yang diturunkan secara bertahap , konsep brosur atau surat-surat promosi dan lain-lainnya. Senua usahanya tidak menunjukkan hasil memadai.
  Annete meruntuk dalam hatinya. Dia menyesal pernah menyarankan Faisal memperdalam studi dibidang ekonomi hingga kepandaiannya sekarang dipergunakan untuk menghancurkan bisnisnya. Berapa lama lagi Annete bisa beertahan? Dia amat ngeri membayangkan. Lihat saja tumpukan barang-barang di gudang, sebagian kecil mulai rusak. Karyawan-karyawan yang lebih banyak menganggur ketimbang bekerja. Pengeluaran rutin tidak bisa dikurangi. Tumpukan masalah sudah terbayangkan, Bagaimana lagi Annete mengatasinya?
  Dihempaskan tubuhnya di atas kursi. Saat itu ia teringat akan anaknya yang masih berada di rumah Faisal. Sudah tiga bulan lebih Dani mengeram disarang musuhnya. Selama waktu itu beberapa kali Dani menelpon sekedar  say hello belaka. Tidak ada pembicaraan penting yang disampaikan atau dibahas.
  Apa yang sudah terjadi pula dengan diri anaknya? Jangan-jangan Dani sudah lupa dengan janjinya. Ataukah Faisal yang membuat anaknyakerasan tinggal bersama ibu tirinya?


Pikiran Annete semakin melantur jauh. Ia tergoda untuk menelpon Dani dirumah mantan suaminya. Tapi, bagaimana kalau yang mengangkat teleponnya adalah Fasial atau Reyni?
  Dengan lemasnya Annete menjauhkan tangannya dari pesawat telepon. Hatinya membayagkan kelakar anaknya terbukti, dia akan kehilangan suami dan anaknya sekaligus. Ahh..tidak. Dia masih dapat berbuat sesuatu untuk memperjuangkan miliknya yang paling beharga. Paling tidak Annete dapat membujuk anknya.
  Annete berdiri. Menyingkap tirai jendela dan nampak kegelapan diluar sana. Sudah malam, dia tidak bisa berlama-lama dikantornya, dia harus pulang kerumahnya. Berhentilah berpikir sampai disini. Annete sudah mendisiplinkan diri tidak membawa masalah pekerjaannya kerumah. Setibanya dirumah, pembantunya Dani baru saja pergi memncarinya.
  “Pergi mencari kemana Bik?”
  “Aduh! Mana Bibik tahu Bu. Datang-datang Dani cari Ibu, lantas telepon ke kantor tapi tidak diangkat, lantas ya keluar begitu saja”.
  “Dani kok tidak sabar menunggu saya”. Guman Annete agak kesal. Diisyaratkan pembantunya untuk pergi meninggalkannya sendirian. Hm! Baru saja Annete memikirkan anaknya, eh yang dirisaukannya datang. Ada apa pula Dani mencarinya tergesa-gesa tidak sabar menunggunya pulang? Aduh! Annete ketularan gelisa dalam menantikan Dani!. Kalananti Dani tidak muncul-muncul, pasti pasti ia menelpon kerumah mantan suaminya untuk menanyakan apa sebanya Dani mencarinya.
  Akhirnya Dani muncul dirumah orang tua Annete. Kelihatannya capek meski matanya berbianr-binar.
  “Mama ini dicari ke kantor kok sudah pulang?”
“Lha, kamu kenapa tidak menunggu Mama pulang” Tak lama kau pergi, Mama pulang”.
  “Habis Danitak tenang. Dani ingin buru-buru ketemu Mama dan Dani juga ingin buru-buru pulang, waktu yang Dani miliki terbatas sekali. Jadi beginilah maih uber-uberan.
  “Ada apa Dan? Bagaimana hasil penyelidikanmu selama ini?”
“Mula-mula agak sulit dani menyelidikinya Ma, karena Papa dan Reyni amat berhati-hati. Belakangan berulah Dani tahu. Maaf ya Ma, selama menyelidiki mereka, Dani jarang menelpon. Selain kuatir dicurigai, Dani tak punya waktu, apalagi perhatian Dani juga tersita pada mereka”. Katanya berkilah.
  “Ya, Mama mengerti. Sekarang jelaskan hasil penyelidikanmu”. Pinta Annete tidak sabar. Dani memaparkan segamblang-gamblangnya apa saja yang diketahuinya.
Rupanya ayahnya memiliki tabungan yang lumayan besarnya. Reyni sendiri berasal dari keluarga cukup berada. Dengan tambahan uang dari Reyni, Faisal mampu membeli perusahaan serupa dengan yang dimiliki Ayah Annete. Lantas dia bergerak sesuai dengan rencananya. Hasilnya berdampak buruk terhdap bisnis Annete.
  “Jadi, Papa mu tega menghancurka usaha Opa mu?
  “Ada isyarat yang Dani tngkap Ma, mungkin Reyni sudah menceritakan saran, desakan dan peluang yang mama berikan padanya. Dan Papa bukan saja merasa terjebak, tapi Papa juga tahu Mama menghendaki perceraian. Jadi tindakannya bukan saja untuk menghancurkan bisnis Opa, melainkan juga di arahkan pada diri Mama. Apakah Mama tidak menyadari hal itu?”
  “Astaga!” desis Annete tersadarkan. Ditatapi anak semata wayangnya yang berwawasan amat luas. Beberapa hal yanag belum dimengerti satu-persatu tersingkap oleh Dani.
  “Dani tak bisa lama-lama agar mereka tidak curiga. Dani harus pulang”. Katanya membuat Annete terkesima.
  “Bagaimana pula dengan rencan Mama sebelumnya? Kapan kamu pindah kesini ataukah hal itu sama sekali tidak memungkinkan Dan?
  “Dani akan pindah kalu keadaan sudah dapat Mama atasi. Kalau belum, Dani masih diperlakukan untuk memata-matai mereka?”
  “Yah! Kamu benar Dan, tak sampai terpikirkan Mama. Pikiran Mama belakangan ini habis tersita untuk mengatasi kehancuran bisnis Opa mu yang sudah di ambang pintu.
  “Dani tahu itu Ma, makanya Dani mampir kesini. Oiya Dani sudah memikirkan jalan keluarnya. Dani dapatkan pemikiran ini setelah sekian bulan bergelut mengikuti sepak terjang Papa dalam bisnis barunya”.
  “Apakah itu Dan?” Katakanlah, Mama ingin tahu”.
  “Mama harus mencari pelanggan baru sebanyak-banyaknya”.
  “Itu sudah Mama lakukan Dani, namun hasilnya tidak memuaskan”.
  “Kalau begitu tingkatkan mutu pelayanan dan turunkan harga untuk menggiur pelanggan”.
  “Sudah Dani, namun tidaka tepat sasaran, pelanggan sudah dikuasai Papa mu”.
  “Jadi Mama sudah lakukan semuanya? Dan Gagal?” Dani tercengan mengetahui hal itu. “Apa Mama tidak mencari orang yang kuat supaya bisa menghancurkan bisnis Papa yang curang?”
  “Oh! Tidak Dan, Mama ingin terlepas dari bayang-bayang Papa mu. Mama sudah berusaha mengalah dan mencari pelanggan baru, meski pelanggan kita dicaplok Papa mu. Mama tidak suka cara yang kau anjurkan Dan. Mama tidak mau main backing-backingan”. Elak Annete tak bersemangat. Dani mengangkat bahunya. Terpaksa Annete mengizinkan anaknya pulang kerumah mantan suaminya.
  Baru saja Dani menghilang, Annete terlonjak mendapatkan gagasan yang berasal dari saran anaknya yang terakhir. Sebaiknya dia mencari orang kuat untuk menghancurkan bisnis pesaingnya. Ah, bukankah seperti itu gagasan yang baru didapatnya?
  Sekonyong-konyong Annete teringat mantan atasannya yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan cukup besar. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Annetesempat bekerja setahun pada perusahaan properti sebagai sekretaris. Sayangnya dia cepat hingga terpaksa berhenti bekerja.
  Ya, Annete akan menemui Pak Alam, mantan atasannya yang menyesalkan keputusannya berhenti karena pekerjaannya sangat memuaskan. Meskipun lingkup beliau bukan bergerak dibidangnya, Annete mencoba minta bantuan sekiranya beliau bersedia. Tak ada salahnya dicoba. Annete masih ingat pesan atasannya ketika menghadiri pesta perkawinannya. Kapan saja Annete mau kembali bekerja akan diterimanya  dan janganlah ia segan-segan meminta bantuannya bila menemui kesulitan.
  Lantas apa rencana selanjutnya bila mantan atasannya itu mau menolongnya? Oh! Annete takkan berbalik menghancurkan bisnis Faisal. Dia bertekad membangun bisnisnya tanpa terusik kehadiran Faisal. Akan dibuktikan ketegaran dan ketangguhannya dalam mengelola bisnis Ayahnya. Tak dibiarnkan kehancuran menggerogoti dan meruntuhkan perusahaan yang sudah dengan susah dirintis Ayahnya.
  Senyum Annete terkembang menyadari gagasannya amat baik dan pantas dicoba. Lalu segala sesuatunya dipersiapkan, ia menelpon terlebih dahulu untuk memastikan perusahaan manatan atasannya masih beralamatkan di lokasi yang pernah diketahuinya.
  Leganya Annete mengetahui lokasi kantor mantan atasannya tidak berubah atau pindah. Penerima teleponnya yang adalah petugas keamanan memberi keyakinan itu padanya.
  “Jadi Pak Alam keluar negeri?” Tanya Annete begitu terhempas. Laki-laki muda yang bernama Reza dan berjabatan sebagai Manajer memberikan kabar itu. Suatu kabar yang kurang menyenangkan bagi Annete.
  “Ya, baru dua hari yang lalu beliau terbang”.
  “Kapan beliau kembali?”
  “Bulan depan”.
  “Haah! Bulan depan?” begitu terperenjatnya Annete mendengar hal itu.
  “Ya, bulan depan. Habis banyak kegiatan yang harus diikutnya, entah seminar, melobi pengusaha asing dan lain-lainnya. Hmm..barangkali ada yang bisa saya bantu untu..”
  “Saya Annete. Panggil saya Anne.”
  “Oh ya, apa yang bisa saya bantu untuk Ibu Anne?”
  “Aduh! Gimana ya?” Annete kebingungan menjelaskannya.
  “Saya....”  suaranya terdengar mengambang, tidak tertuntaskan dengan baik.
  “Hm. Bagaimana kalau minta nomor teleponnya saja? Anda diberitahu hotel tempat beliau menginap bukan?”
  “Wah! Saya tidak bole sembarang memberitahu. Oh ya Maaf, Anda ini siapa, kalau boleh saya tahu, supaya saya tidak ragu lagi memberikan nomor telepon Bapak Alam”.
  “Saya pernah bekerja sama Bapak Alam. Ya terus terang saya ada kesulitan dan memerlukan bantan Pak Alam. Pak Alam sendiri perna bilang pada saya agar tidak usah segan-segan datang bila ada sesuatu. Dan .. kalau sekarang Pak Alam tidak bisa saya temui ya apa boleh buat, apalagi anda keberatan memberikan nomor telepon beliau”.
  “Ooh, maksud saya bukan begitu, bukannya saya tak mau memberikan informasi yang anda buuthkan..eh..sebentar..” Reza menghentikan suaranya ketika terdengar suara ketukan pintu disusul dengan masuknya sekretarisnya.
  “Ada apa?”
  “Laporan keuangan mau saya Fax ke Amerika Pak Reza, tolong di-acc saya Fax.” Pinta sekretarisnya.
  “Nah! Kebetulan ada Fax sayang mau saya kirimkan ke Pak Alam. Saya rasa BU Annete bisa menulis pesan singkat bersamaan dengan Fax kami. Saya paham kalu anda kuatir ini pesan terbaca kami disini, ikutilah sekretaris saya agar bisa menjaga isi Fax anda tidak terbaca siapapun. Kalau sudah selesai, kertas yang bertulisakan pesan anda akan bisa diamankan, Bagaimana?”
  “Ide yang bagus, kaklau begitu boleh saya minta kertas dan pen-nya?” Annete mendapatkan yang dimintanya. Lantas ia menulisakan pesannya cukup singkat dan jelas. Sesuai dengan pengarahan Reza, Annete mengikuti sekretaris Reza mengirimkan Faksimil untuk mantan atasannya. Laporan keuangan yang akan dikirimkan, diletakkan dengan keretas berisikan pesan singakatnya. Setelah itu, sekretaris Reza memisahkan laporan keuangan dengan kertas berisi pesannya yang dikembalikan padanya.
  Dengan tangan menimang-nimang keretas berisi pesannya, Annete kembali kereuangan Reza. Laki-laki ituk duduk dengan gaya simpatik.
  “Sudah Bu Annete?”
  “Sudah Pak Reza, terimaksih atas kesempatan yang anda berikan. Oya, saya mau berpamiyan saja karena..” Ucapan Annete terputus ketika pesawat telepon Reza berdering, Reza pun menyambutnya. Dan ekspresi wajahnya berubah setelah mengeteahui siapakah penelponnya.
  “Ooh Pak Alam.. Ya..” begitulah suara Reza terdengar terpotong-potong.
  “Bu Annete, kebetulan Pak Alam ada ditempat dan menerima Faksmil yang baru kita kirim. Sekarang beliau ingin bicara degan Bu Annete, silahkan”. Katanya mengangsurkan gagang telepon.
  “Annete menerimanya. Akhirnya mereka berbicara ditelepon membahas pertolongan apa yang dibutuhkan Annete.
  “Ya, saya mengerti Annete. Tidak cukup relaks menyatakan kesulitanmu sekarang lewat telepon. Kalau persoalanmu tidak terlalu mendesak, kamu bisa menunggu saya kembali. Tapi kalu begitu mendesak, jangan segan-segan menyampaikannya pada Reza, saya sudah menginstruksikannya untuk membantumu. Dia orang yang kupercayai dan ku andalkan, jangan ragu-ragu padanya, Oke?”
  Annete kebingungan bicara, padahal mantan atasannya sudah mengisyaratkan pembicaraan mereka berakhir. Untunglah Reza beranjak keluar hingga Annete dapat bebas berbicara tanpa kuatir terdengar Reza.
  “Begini Pak Alam, saya baru saja bercerai dan mengelola bisnis orang tua saya. Dan saya mengalami kesulitan karena mantan suami saya itu yang mengambil alih sebagian besar pelanggan kami dengan cara-cara tidak fair. Menurut Pak Alam, apakah bisnis saya itu ditutup saja dan dijual selagi kerugian kami belim banyak ataukan ada cara lain?” Tanya Annete memaparkan kesulitannya.
  “Wah! Jangan ditutup Annete. Saya rasa ada cara untuk mengatasinya. Cobalah kamu berkonsultasi dengan Reza, pemikirannya amat brilyan, makanya saya percayakan perusahaan ditangannya. Reza juga bisa meminta bantuan beberapa relasi bisnis saya yang bergerak dibidang supermarket. Jangan putus asa  Ann. Dalam bisnis, jegal menjegal itu sudah sering terjedi. Kau harus kuat, Reza akan membantumu, dia bisa diandalkan, Oke? Oya, salam saya untuk Ayah dan Ibumu ya, nanti akan saya pantau perkembangannya lewat Reza. Sampai nanti Annete”. Katanya mengakhiri pembicaraan.
  Annete meletakkan telepon dengan hati-hati dan menantikan Reza kembali. Dari pembicaraan mantan atasannya, Annete mendapat kesan kalau Reza amat dipercaya dan diandalkan. Mudah-mudahan saja laki-laki itu dapat menolongnya kealuar adari kesulitan dan rong rongan Faisal.
  “Maaf, agak lama saya meninggalkan Bu Annete”. Kata reza memasuki ruang kerjanya.
  “Hm..Kalau bung Reza sibuk.. saya mau pamitan saja”.
  “Sama sekali tidak Bu, Saya punya waktu untuk berbincang-bincang dengan Bu Annete. Sebagian tugas sudah saya instruksikan lewat sekretaris saya, jadi pembicaran kita tak terganggu. Saya sudah mendapat mandat dari Pak Alam untuk membantu Bu Annete, mudah-mudahan Bu Annete sendiri tidak kecewa karena Pak Alam tidak dapat menolong Ibu. Tak apa-apa bila diwakilkan pada saya kan?”
  Annete tersipu-sipu menghadapi tutur kata Reza yang bersahaja. Kerendahan htinya berkesan dihati Annte. Kalau saja Pak Alam tidak memuji kehandalan Reza, Annete tak akan tahu keistimewaan laki-laki dihadapannya.
  “Begitulah kesulitan yang sedang hadapi Bung Reza”.
  Hmm.. sebelum kita amelangkah lebih jauh, misalnya membawa cara-cara megatasi kesulitan Ibu, tak keberatankah Ibu untuk menjelaskan apa saja yang sudah Ibu lakukan?” Tanyanya amat simpati.
  Annete memaparkan dengan bersemangat. Dijelaskan cara-cara yang terpikitkan olehnya berikut hasil yang didapatkan setelah dipraktekkannya. Dari berbagai uapay selalu saja menemui jalan buntu.
  “Semalam anak saya menyarankan agar saya mencari orang kuat untuk melumpuhkan usaha Faisal, tapi saya tidak mau menggunakan cara kotor seperti itu. Saya bertekad untuk melepaskan diri dari bayang-bayangnya bukan saja dalam hubungann kami setelah perceraian, tapi dalam segala permasalahan yang ditimbulkan akibat perceraian. Dari gagasan anak saya Dani, saya terpikir untuk menemui Pak Alam dan meminta petunjuknya. Apakah lebih baik bisnis saya dihentikan saja, supaya Faisal dapat leluasa berbisnis. Kemudian saya berminat mengalihkan bisnis, mencari ladang baru begitu.”
  “Bole saja tahu sebagian besar pelanggan yang direbut mantan suami anda?” Tanyanya hati-hati. Annete menyebutkan beberapa toko besar, supermarket atau toserba yang diingatnya. Selanjutnya reza bertanya berbagai hal sekitar kegagalan mencari pelanggan baru.
  “Sekarang saya sudah mendapatkan gambaran tentang bisnis anda dan segala upaya anda selama ini. Langkah yang dapat kita tempuh sekarang agaknya  baru pada pengulangan upaya anda yaitu mencari pelanggan baru”. Katanya memutuskan.
  “Baiklah, Saya antarkan Bu Annete menemui bebrapa relasi yang kebetulan bukan pelanggan yang direbut Saudara Faisal. Memang mereka sudah memiliki agen tertentu, tapi kita bisa membujuk mereka agar bersedia memsan barang dari agen Bu Annete meski hanya sedikit saja”. Ajaknya dengan meninggalkan meja kerjanya.
  “Sekarang Bung Reza?” Tanya Annete masih terkesima. Gerak cepat Reza tidak diduganya.
  “Ya, sekarang. Lebih cepat kita bergerak, lebih baik kan?” tanyanya diplomatis.
  Sejak saat itulah Annete mendapat bantuan dari Reza yang tidak tanggung-tanggung. Gagasannya sederhana, mengulangi apa yang sudah dilakukan Annete sebelumnya, tapi gerak cepatnya, promosinya, pengaruhnya luar biasa. Dalam waktu singkat mereka sudah mendapat beberapa pelanggan kakap di samping toko-toko kecil yang tetap di incar Reza.
  Annete beljar memelihara hubunga bisnisnya dengan pelanggan barunya. Dia berusaha memberikan harga yang bagus dengan mutu pelayanan yang terus ditingkatkan. Annete tidak memandang remeh pelanggan kecilnya yang tidak terelalu banyak memasok barang-barangnya. Kalau yang kecil-kecil itu dikumpulkan, hasilnya tentu membesar, itulah yang diharapkan reza dalam mengarahkan Annete.


Upaya mereka tidak berhenti sampai disitu. Reza melontarkan gagasan cemerlang. Perusahaan properti Pak Alam yang memiliki rarusan karyawan juga dilibatkan dalam bisnis Annete. Sellluruh karyawannya dihimbau untuk mengambil kebutuhan pangan mereka pada Annete yang memberikan harga bersaing.
  Maka karyawan Annete menjadi amat sibuk mengemas kebutuhan pokok dalam kemasan kecil yang mudah disalurkan untuk para karyawan mantan atasannya.
  Kesibukan Annete menyita perhatian dan waktunya. Kepulangan Ayahnya dari rumah sakit terpaksa tidak bisa ditangani Annete, tahu-tahi Ayahnya sudah berada dirumahnya dan Annete begitu menyesal baru mengetahui akibat kesibukannya.
  “Maaf Pa, Annete..”
  “Papa mengerti, Mama sudah cerita kegiatanmu. Baguslah Ann, teruskan. Semangat kerjamu biki Papa ingin cepat-cepat pulang”. Katanya gembira.
  “Mama kan sudah blang, biar Annete yang mengurusi sgen kita, sudah waktunya Papa beristirahat. Nah! Lihatlah hasilnya, Annete bisa mengaatasinya kan?”
  “Ya tapi Annete tidak sendiri, ada yang membantu”.
  “Papa juga dengar itu. Siapa yang membantumu Ann? Ceritakan pada Papa mengenai dirinya”.
  “Namanya Reza, orang keprcayaan Pak Alam, Papa ingatkan atasan annet dulu?” Annete menjelaskan apa saja yang mereka kerjakan untuk menanggulangi masalah kehilangan sebagian besar pelanggan mereka.
  “Orangnya bagaimana Ann?”
  “Ya, baik, Tanggap, Berpengaruh, kerjanya cekatan den efisien, wawasannya luar, pokoknya amat di andalkan Pak Alam. Papa jangan kuatir dida bertikad buruk. Dia sungguh-sungguh mau menolong Annete meskipun awalnya karena instruksi dari Pak Alam. Tapi setelah Reza banyak membantu, Annte bisa menilai kesungguhannya.


“Dimana rumahnya Ann? Bagaimanakah keluarganya? Berapa anknya? Papa kok ingin tahu hal-hal selain yang berhubungan dengan bisnis kalian. Apa kamu mengerti maksud Papa Ann? Orang yang baik dan disiplin dalam pekerjaan, bagaimana kehidupannya sehari-hari”.
  “Nggg... Aduh! Annete tidak tahu banyak soal itu. Dia tak pernah menyatakannya dan Annete juga tidka bertanya”.
  “Lho, jadi kamu tidak tahu dimana rumahnya, keluarganya bagaimana? Berapa pula anaknya, Siapakah istrinya?”
  Kepala Annete menggeleng lemah. Dia benar-benar tak tahu dan merasa tak perlu tahu penjelasan yang di ucapkan Ayahnya. Bukan kesibukannya yang menyebabkan dirinya sungkan bertanya macam-macam mengenai kehidupan pribadi Reza, tapi alasannya karena sikap reza padanya pun serupa. Belu pernah laki-laki itu memberi perhatian pada hal lain diluar bisnis, meskipun mereka seringkali berada berduaan didalam ruang kerja Annete atau didalam mobil, kalau Reza mengatarnya pulang.
  “Sikapnya amat profesional Pa, rasanya Annete sungkan bertanya macam-macam nanti dikiranya apa..”
  “Maksudmu, dikiranya apa itu bagaaimana? Kamu ini kok tidak profesional? Hanya sekilas mengenal orang yang tahu seluk-beluk bisnis kita”. Tegur Ayahnya cukup tajam. Ayahnya mendesaknya untuk mejelaskan sikapnya dan apa yang dikiranya.
  “Waktu Annete minta tolong pada Pak Alam lewat telepon itu, Annete sempat memberitahu sudah bercerai dengan Faisa dan sedanag berkonsentrasi dalam bisnis Papa. Reza tahu hal itu dan kalu Annete bertanya macam-macam padanya, nanti dikiranya Annete ke usilan”.
  “Tapi setidaknya alamat rumahnya kamu ketahui Ann”.
  Annete kan bisa menghubunginya di kantor”. Kilah Annete masih tetap mengelakkan keinginan Ayahnya mengetahui tetek bengek yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.
  “Sudahlah Pa, Annete akan memperkenalkan Reza, dan terserah Papa kalu mau menanyakan segala tetek bengek itu”. Janji Annete menenangkan hati Ayahnya.

Bersambung...