Cinta Yang Terenggut (Fredy S) - Bagian 6

FREDY S.
CINTA YANG TERENGGUT



Cerita ini adalah fiktif, bila ada persamaan nama, tempat maupun peristiwa, itu hanyalah kebetulan belaka, dan tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Bagian 6

TERTEGUN Annete berdiri di ambang pintu keluar. Lalu lalang para pembezuk tidaklah menyita perhatiannya. Pikirannya terpusatkan pada mantan atasannya, Pak Alam. Pembicaraan singkat mereka terngiang-ngiang ditelinganya.
  Sebagai atasan, Pak Alam membutuhkan Reza yang termasuk orang kepercayaannya. Wajarlah kalau beliau menjenguk Reza  untuk menunjukkan perhatiannya dan rasa sosialnya. Selain itu di akui Pak Alam, beliau juga berniat menyelidiki latar belakang pemukulan yang di alami Reza. Sedangkan pada Annete saja Reza masih menyelubinginya, apakah pada atasannya Reza bersikap serupa?
  Ah, tidak mungkin. Pastilah Reza akan menceritakannya pada Pak Alam. Jadi? Hai! Mengapa Annete tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk mengetahuinya dengan cara menguping pembicaraan mereka?
  Gagasan itu membuat Annete berbalik ke kamar Reza dengan bersemangat. Dia yakin sekali Reza akan menceritakan pada atasannya dan tidak menutupi sebagaimana terhadap dirinya.
  Dengan nafas terengah-engah Annete tiba di depan kamar Reza. Beruntung sekali pintunya tidak tertutup rapat jadi suara percakapan didalam terdengar cukup jelas. Dengan hati-hati Annete menyisih kebalik pintu memasang telinganya agar dapat mengikuti pembicaraan antara Reza dan atasannya.
  Apa yang didengarnya terasa mengejutkan. Dibalik pengerooyokan semalam yang rupanya berkaitan dengan pemukulan sebelumnya, ternyata juga menyangkut dirinya dan keluarganya.
  Bukan main marahnya Annete menyadari anaknya mengetahui beberapa hal penting dan sengaja merahasiakannya. Setelah pengakuan Reza tuntas, tergesa-gesa Annete meniggalkan rumah sakit.
  Tak pelak lagi, setibanya dirumah, teriakannya mengejutkan seisi rumahnya. Dani yang dipanggil memunculkan diri dalam waktu amat singkat.
  “Ada apa ma?”
  “Keterlaluan kamu Dani! Kamu.. Kamu..”
Nafas Annete yang terengah-engah diluapi emosi membuatnya tidak terkendali.  Baik Ibunya maupun Ayahnya berusaha menenangkannya.
  “Ada apa Anne? Kok pulang-pulang kamu marah-marah begini?” tegur Ibunya seraya menduduk ke sofa. Wajah Dani memucat, anak laki-laki itu seudah memperkirakan apa yang menyebabkan Ibunya marah dan sewot.
  “Kesalalhanmu segudang Dani. Dengarkan.
  Pertama; kamu tidak memeritahukan Mama kalu Papa mu ditinggal minggat Ibu tiri mu.
  Kedua; kamu bersekongkol dengan Reza menyembunyikan hal itu, padahal kamu sudah diberi tau dia kalau pemukulan yang [ertama kalinya didalangi oleh Papa mu. Papa mu mengancamnya lewat orang-orang biadab itu untuk tidak membantu dan berhubungan dengan Mama..”
  “Dani!” Pekik ayah Annete kaget luar biasa. Matanya membelalak. Kemarahan Annete menulari sang Ayah. Karuan saja Dani menundukkan kepalanya semakin dalam.
  “Opa tahu kesalahanmu yang lain Dani. Semalam diam-diam kamu menolong Reza, lantas tadi pagi kamu membolos..”
  “Dani! Kamu sadar tidak kalau kesalahanmu bisa berakibat fatal bagi Reza? Kalau Papa mu kalap dan lupa diri.. Ya Tuhan..! Faisal hampir membunuhnya Pa! Faisal gila Ma!” Teriak Annete dengan suara menggelegar.
  Ayah Annete terhenyak. Annete menjelaskan apa saja yang diketahuinya daari pembicaraan Reza dengan atasannya yang disadapnya dari rumah sakit. Orang tua Annete mengetahui kalau Dani tinggal dengan Ayahnya bertujuan untuk memata-matai. Makanya Annete mengetahui perkembangan rumah tangga mantan suaminya, kecuali bagian terakhir yang dirahasiakan Dani. Padahal yang dirahasiakan itu justru amat penting dalam mewaspadai tindakan Faisal selanjutnya terhadap Annete, Reza, Dani dan keluarga mereka.
  “Dani .. sudah peringatkan Om Reza untuk memenuhi tuntutan Papa, tapi beliau menanggapi. Alasannya kuatir papa melecehkannya sebagai pengecut Ma!” Kata Dani seakan membela dirinya.
  “Wah! Berani betul laki-laki itu Pa” Guman Ibu Annete bernada kagum.
  “Sayang keberaniannya dibayar cukup mahal. Tapi terpenting sekarang adalah apa yang harus kita lakukan Pa? Annete, ada yang kamu pikirkan sebagai jalan keluarnya?” Tanya Ibunya.
  “Ya, apa yang bisa kita lakukan Pa?” Tanya Annete meminta pendapat Ayahnya.
  “Kita lapor polisi saja Pa”. Ibu Annete melontarkan gagasannya. Ayah Annete menggelengkan kepalanya.
  “Itu langkah terakhir kita tapi sekarang yang bisa kita lakukan.. ah, aku menemuinya”.
  “Dani, kau harus ikut Opa mu. Eh.. Annete juga ikut saja Pa, Annete ingin tahu apa yang aka di lakukannya dalam mengahdapi kita”.
  “kalau begitu, bersiaplah, sekarang kita temui Faisal”. Putus Ayah Annete dengan gerangnya. Buntut-buntutnya Ibu Annete juga tertarik ikut supaya memperkuat barisan pertahanan bila mantan menantunya kalap dan menyerang mereka semua.
  Tentu saja tidak asal menemui Faisal. Di aturlah siasat kalau Dani lah yang maju terlebih dahulu karena anak itu sudah mengenal medan pertempuran mereka.

***

  Dengan isyarat matanya, Ayah Annete mengisyaratkan cucunya untuk maju. Rumah Faisal kelihatan amat sepi. Kegelapam malam terasa mencekam hati mereka yang bersembunyi disudut teras.
  Berkali-kali Dani mengtuk pintu, tak direspon apa-apa. Lantas Dani menjunjukkan jalan belakang yang akan ditujunya. Ayah Annete menyusul karena kuatir cucunya sendirian menghadapi musuh mereka.
  Pintu belakang terbuka. Dani makin berhati-hati dengan kepalanya yang celingukan.
  “Jalan sana, Opa membayang-bayangimu Dan”. Bisik Ayah Annete menguatkan hatinya.
  “Hm,, kita kedalam, langsung ke kamarnya saja, biasanya Papa ada dikamarnya Magrib-Magrib begini”. Bisik Dani menunjuk arah kamar Faisal.
  “Opaa, Lihat!” dani terdengar cukup keras, tubuhnya disisihkan agar kakeknya dapat melihat pemandangan menakjubkan itu. Bagaimana tidak menakjubkan? Siapa yang mengira akan menemui Fasial yang sendang mabuk berat? Botol-botol minumannya berjejer di atas meja.
  Dani panggilkan Mama dan Oma ya”. Katanya sambil melesat keluar, membukakan pintu bagi Ibu dan neneknya. Begitu diberitahu Faisal mabuk, kedua wanita itu masuk dan menyaksikannya dengan mulut berdecak.
  “Ck..ck..ck.. Faisal..Faisal..”
  “Oohh! Papa! Bisik Dani amat sedih dan malu.
  “Dani! Ambilkan seember air, kita bikin dia sadar”. Kata Ayah Annete tak sabar lagi. Dan tidak kepalang tanggung, wajah Faisal diguyur air. Matanya mengerjap berkali-kali dan mulutnya terlontarkan nama anak dan istrinya.
  “Oh! Pa..pa.. Mama..? Ohh.. Annete! Kau kembali, Huuu... kau kembali padaku..” Agak histeris Faisal menubruk tubuh Annete. Suara tangisan terdengar menyayat hati.
  “Annete kau kembali! Kau kembali padaku”. Begitulah kata-kata yang sama di ualnginya. Kebingunganlah Annete menghadapi perubahan sikap mantan suaminya. Dipalingkan wajahnya ke arah orang tuanya seakan meminta pendapat bagaimanakah sikap selanjutnya?
  “Coba kau katakan keinginan kita semua supaya dia tidak mengganggu bisnismu dan Reza”. Kata ayahnya menyarankan.
  “Sal..! Dengarkan, aku punya permintaan, tolonglah pekerjaanku tidak kau ganggu. Kita kan sudah berpisah baik-baik. Kamu juga jangan menteror Reza. Dia membantuku karena ulahmu kan? Kalau kamu baik-baik, Reza tak perlu lagi membantuku. Kamu paham Sal..?”
  “Yyyyyyaa. Ya paham”. Jawabannya tidak meyakinkan siapapun yang mendengar kalau Faisal memahami maksud Annete.
  “bagaimana kalau Faisal kita antarkan ke rumah sakit ji ..”
  “Tidak! Tak perlu!” Sebuah suara amat nyaring terdengar mengejutkan keempat orang yang mengelilingi Faisal. Serentak mereka memalingkan wajah ke arah pintu, terlihat seorang wanita muda menenteng tas besar yang diletakkannya di atas lantai. Annete dan Dani mengenalinya, dia adalah Reyni, istri Faisal.

"Cuma 21 Hari Langsung Dapat Jodoh"

"Cuma 21 Hari Langsung Dapat Jodoh"

  “Biar saya yang mereawatnya. Tanggung jawab saya merawatnya sampai jiwanya sembuh karena saya juga beresalah meninggalkannya.
  Tanpa mempedulika apakah tamu-tamunya mau mendengarkan atau tidak, Reyni mengoceh sendirian dengan mata terarah pada Faisal, suaminya.
  “Saya minggat karena saya tak tahan, dia tetap pada pendirian ingin menghancurkan Mbak Annete. Suah saya nasihatkan , Eh..dia tetap saja keras kepala. Ketika saya tahu dia mengupah orang-orang untuk menghajar Bung Reza, saya marah padanya dan saya pergi meninggalkannya. Sugguh, saya tak mengira beginilah dampaknya”.
  “Ooh! Saya sadar kekeliruan langkah saya. Saya masih menciantainya dan mengasihinya. Saya terus memikirkannya dan akhirnya saya kembali. Saya mohon dia tidak dihukum lagi, sebab kehilangan Mbak Annete dan dani sudah merupakan hukuman terbrat baginya. Saya akan merawatnya sampai sembuh. Saya akan menjaganya. Percayalah, dia takkan berbuat yang macam-macam lagi”. Pintanya melas.
  Ibu Annete lah yang tersadar lebih dulu diantara ketiga orang didekatnya.
  “Baiklah, kami pamit saja, semalat malam”. Ucap Ibu Annete disusul suami dan anknya. Dani yang berada paling belakan terpaku.
  Reyni menganggukkan kepalanya seperti mengisyaratkan kerelaanya melepas Dani.
  “Dani akan sering-sering tengok Papa Mbak”. Katanya dengan berat.
  “Ya Dan. Angguk Reyni melepaskan kepergiannya dengan linangan air mata.
  “Ooh! Syukurlah keadaannya tidak segawat yang kubayangkan”.  Bisik Ibu Annete seraya menggamit suami dan anaknya.
  “Annete, kamu tak apa-apa Nak?”
  “Ah, tidak apa-apa Ma. Yah ada rasa kasihan, bagaimana pun Faisal pernah Annete cintai. Tapi Annete sudah singkirkan perasaan kehilangan ini. Yang terbaik memang kami berpisah, apalagi Reyni menunjukkan kesungguhan cintanya. Mudah-mudahan saja Faisal sadar dan tidak mengganggu kita lagi”. Kata Annete berharap. Diliriknya Dani yang berjalan dibelakang punggungnya.
  “kau anak Mama yang baik Dan. Memang sepatutnya kau menjenguknya. Sebab dia Ayah mu. Mama senang kau tidak mendendam dan membencinya. Tidak ada manusia yang sempurna termasuk Papa mu”. Kata Annete menasihati anaknya.
  Sendirian di dalam kamarnya Annete merenungkan segala sesuatu yang di alaminya. Seharusnya ia berlega hati mengetahui Reyni sudah kembali pada Faisal dan akan merawatnya. Tapi perasaannya masih gamang dan tak menentu. Penyelesaian yang diharapkannya tidak sesederhana itu.
  Apakah Reyni dapat mengendalikan Faisal dan mengembailkan kondisi jiwanya seperti sediakala, seperti saan Annete menjadi istrinya dan mereka belum bercerai? Kalau perceraiannya dengan Annete yang menjadi penyebab kekacauan jiwa Faisal, sudah pasti kelak Annete akan berurusan dengan mantan suaminya.
  Lantas, bagaimana pula dendam Faisal terhadap Reza? Apakah dengan mudahnya Reyni mengatasi dengan melenyapkan dendam suaminya? Selain itu, bagaimana pula Faisal menjalankan usahanya dalam kondisi seperti sekarang?
  Ah, segalanya masih membingungkan. Annete tak berdaya menemukan cara yang terbaik bagi  dirinya serta Faisal dan istrinya.

***

  Sore itu Annete menjenguk Reza. Ia tak mengira teman-teman Reza juga menjenguknya. Mereka masih mengenakan pakaian kerja, rupanya dari kantor mereka langsung ke rumah sakit.
  Kamar Reza selain diramaikan pembezuknya juga disemarakkan karangan bunga yang dikirim kenalannya. Keramaian suasana itu membuat Annete sungkan masuk ke dalam bergabung dengan teman-teman sekerja Reza yang tidak dikenalnya. Jadilah Annete menunggu pembezuk lainnya pulang.
  “Annete, kok diluar?”
  “eh, Pak Alam! Ya sebentar lagi saya masuk, masih ramai didalam, Pak! Kalau Pak Alam mau masuk silahkan duluan”. Katanya mempersilahkan. Mantan atasannya celingukan kedalam ruangan.
  “Ah, ya masih ramai, kalau begitu biarlah kita berbicang-bicang disini.
  “kamu baik-baik saja kan Annete?”
  “Ya Pak! Saya baik-baik saja”.
  “Maaf kalau saya sedikit ikut campur masalah pribadimu..”
  “Ah, tidak apa-apa Pak Alam, saya justru berterimakasih atas bantuan bapak selama ini meskipun secara tidak langsung”.
  “Nampaknya masalahmu agak rumit Ann. Saya tidak menyangka sejauh itu tidakan Faisal. Maaf ya, saya mengorek ketereangan dari Reza karena akhirnya dia tersangkut problem mu”.
  “Hm.. Sebenarnya saya juga menguping pembicaraan Pak Alam dengan Reza waktu itu. Lantas saya tegur anak saya yang merahasiakan tindakan Faisal terhadap Reza. Kebetulan orang tua saya mendengar dan memutuskan untuk bicara dengan Faisal”. Annete memaparkan kejadian yang di alaminya semalam.
  “Kalau begitu, untuk sementara masalahmu dapat dianggap selesai. Memeang tidak semulus perkiraan kita, kalau istri Faisal gagal, dengan sendirinya timbul persoalan batu lagi bagi keluargamu. Kita harapkan dia berhasil ya Annete”.
  “Dengan persoalan saya, Reza jadi sakit dan untuk beberapa saat Pak Alam kehilangan Reza di kantor. Saya tak enak sama Pak Alam dan juga Reza”.
  “Tak apa-apa Annete. Jangan merasa sungkan. Kami senang dapat menolongmu. Eh .. ngomong-ngomong apakah perkembangan terakhir itu sudah diketahui Reza?”
  “Belum Pak. Saya kira nantilah saya beritahu kalau kondisinya sudah membaik”.
  “Lho, jangan ditunda Ann, lebih cepat kau sampaikana alebih baik, supaya beban pikirannya berkurang. Dari pembicaraan kami, kami tangkap gelagatnya, Reza terus menerus merisaukan Fasial. Oh! Bukan dia takut di apa-apakan lagi, tapi dia merisaukan keselamatanmu Annete”.
  “Keselamatan saya?”
  “Ya, waktu saya berkomentar kalau tindakannya justru mengundang malapetaka, eh.. dia bilang tak mau di anggap bernyali kecil. Dia tetap mau membantu dan berhubungan denganmu. Pdahal anakmu juga sudah memperingatkannya. Ah, belum pernah saya lihat dia begitu ngotot dan penuh perhatian pada seorang wanita sejak istrinya meniggal. Barangkali.. Maaf, saya kok bicara menebak-nebak. Saya serahkan pada kalian berdua yang menjalaninya Lho, kamu juga menyadarinya kan Annete?”
  Annete terperangah kemanakah arah pembicaraan laki-laki separuh baya itu.
  “Baiklah, saya masuk ya? Nanti kamu belakangan lah”. Ucapnya bernada jenaka. Annete ternganga ditinggal sendirian.
  Selang beberapa saat, pintu terbuka dan Pak Alam keluar diikuti para karyawannya. Kamar Reza ditinggalkan kosong melompong. Aduh! Laki-laki itu sengaja memberinya kesempatan berdua-duaan dengan Reza. Menyadari hal itu Annete ragu-ragu masuk ke dalam.
  “Annete..” Panggil Reza yang tentu saja melihatnya sejak ia datang. Mau tak mau Annete masuk meskipun sempat terpikirkan untuk pulang.
  “Reza”. Panggil Annete jadi kebingungan bicara setelah menyadari makna ucapan Pak Alam.
  “Apa kabarnya Ann? Kamu baik-baik saja kan?”
  Annete tercengan ditanya begitu. Tangan Reza yang dilambaikan mengisyaratkan untuk mendekat.
  “Kamu baik-baik saja Ann?” Lagi-lagi Annete terkesima ditanya begitu.
  “Seharusnya akulah yang bertanya begitu padamu. Bagaimanakah keadaanmu? Sudah membaik?”
  “Setiap kau jenguk, rasanya aku bertambah baik”
  “Syukurlah kalau begitu.” Sahut Annete agak jengah.
  “Annete, apa kau ingat minyak angin yang kau pergunakan ketika aku sakit waktu itu?”
  “Ya, kenapa” Tanyanya polos.
  “Semalam aku merasa nyeri dan aku memintakan perawat mencarikan merek yang sama dengan yang kau pergunakan, tapi efeknya tidak sebaik dengan yang kurasakan, apa mungkin karena usapan tangan kamu ya?”
  Annete tidak menjawab, wajahnya dipalingkan agar rasa malu dan risihnya tidak terlihat jelas.
  “Annete, duduk disini. Kamu kok takut betul, apakah aku mengerikan?” Lagi-lagi Annete tidak mampu menjawab atau mengelak. Didekatinya Reza hingga tangannya dapat dijangkau Reza.
  “Maaf ya Ann, karena aku sakit kamu repot-repot menjengukku, kalau aku sehat kan aku yang datang menemuimu”.
  Annete berdesah. Hatinya berdesir saat tangannya digenggam Reza. Ada keinginan untuk menarik tangannya, tapi annete tak mampu melakukannya.
  “Jam bezuk hampir habis Rez, sebaiknya aku pergi sebelum di usir perawat”. Katanya beralasan. Perlahan-lahan Annete menarik tangannya dari genggaman tangan Reza, tapi Reza tidak melepaskannya.
  “Aku sudah minta pada perawat agar tidak membatasi kunjungan tamu-tamuku. Tak ada alasanmu ceoat-cepat pergi kecuali kalau Faisal mengancammu”. Reza menatapnya dalam.
  “Tapi itu tidak mungkin. Semalam kalian sudah membereskannya bukan? Istrinya sudah kembali dan berjanji pada keluargamu untuk tidak mengusik kehidupan kalian”.
  “Dari mana kau tahu? Dari Pak Alam?” Annete bertanya dengan kagetnya. Reza menggelengkan kepalanya. Senyumnya mencurigakan Annete.
  “lantas darimana kau tahu? Dari Dani? Eh.. Pasti tadi siang Dani menjengukmu sepulang sekolah. Dani yang menceritakannya padamu kan?”
  “Dani memang datang tapi Dani tidak menceritakan kejadian semalam”.
  Kalau begitu pasti Pak Alam kan? Beliau menyarankan aku menceritakannya padamu barusan saja”.
  “Ah, tidak. Tanyalah teman-temanku, Pak Alam tidak cerita. Tadi banyak orang, tidak etis lah beliau menceritakannya didepan teman-temanku. Bukan Pak Alam Ann”.
  “Habis siapa?” Desak Annete makin penasaran.
  “Hal itu tidak penting Ann, yang penting kan Faisal sudah ditangani istrinya. Apa kamu tidak bergembira dengan keadaan itu?”
  “Aku gembira, tapi tolong katakan siapa yang memberitahumu?”
  “Kau akan memarahinya atau menegurnya?”
  “Tida, tidak”. Sergah Annete.
  “aku hanya ingin tauh saja”.
  “Baiklah, aku akan membisikimu”. Kata Reza agak nakal. Annete merengut mendengar syarat itu. Ia menjaadi ragu-ragu tapi rasa kepenasaraannya tak hilang. Akhirnya dengan rikuh Annete menundukkan kepalanya dan mendekatkan telinganya ke bibir Reza.
  Ternyata Reza tidak membisikkan satu nama pun, bibirnya malahan mengecup pipi Annete.
  “Apa-apaan kamu Rez?” Annete menjauhkan kepalanya seketika. Wajahnya merah padam.
  “Aku sayang kamu ..” Reza berkata namun agak gugup. Tangan Annete yang gemetaran digenggam hangat oleh Reza. Dadanya bergemuruh tak terperikan. Annete dibuat malu, rikuh, dan salah tingkah.
  “Yang memberitahuku adalah orang yang jatuh hati padaku”. Sambungnya membuat Annete bertanya-tanya sendiri. Siapakah yang dimaksud Reza?
   “Siapa Reza? Tanya Annete dengan gemasnya.
  “Ayahmu”. Jawab Reza dengan cengar-cengir.
  “Papa? Papa yang memberitahu kamu?” Tanya Annete tak percaya.
  “Aku juga kaget ketika pagi-pagi beliau datang. Kukira beliau mau menegur kesalahanku karena mengajak Dani bersekongkol atau bikin anakmu berdusta pada kalian. Ya, aku dengarkan saja beliau bicara memberitahukan apa yang kau dengarkan dari pembicaraanku dengan Pak Alam. Nah! Aku makin ketar-ketir saja karena kalian sudah tahu perbuatan Faisal padaku.
  “Lantas?”
  “belakangan Ayahmu mengucapkan terimakasih dan simpatinya padaku. Ah, yang lainnya tak perelu lah kamu tahu, pembicaraan antar sesama laki-laki”. Ucap Reza sambil mengerlingkan matanya.
  “Annete terdiam. Antara malu dan rikuh. Reza diliriknya sekilas. Ketika lengah, segera ditarik tangannya dan laki-laki itu bereaksi dengan tawa spontannya.
  “Aku pulang Reza”. Pamitnya tergesa.
  “Aduh! Jangan terburu-buru. Aku akan memberitahu pembbicaraan kami kalau kamu tidak pulang, ayolah”. Bujuk Reza semanis madu. Annete tidak menghentikan langkahnya.
  “Annete! Annete! Aduhh..! Teriakan Reza yang amat keras mengagetkan Annete, dipalingkan wajahnya dan seketika tubuhnya berbalik cepat ke pembaringan, dilihatnya Reza berusaha untuk bangun dengan susah payah.
  “Jangan bangun Reza. Kamu kan masih sakit. Mau kemana sih kamu?” Tanya Annete sambil membantu Reza merebahkan tubuhnya kembali.
  “Aku tak mau kemana-manaa, aku hanya tak mau kau tinggalkan”. Katanya konyol. Spontan Annete tertawa, sama sekali tidak disadarinya kedua tangan Reza mencekali lengannya supaya tidak kabur.
   “jangan menggombal! Seperti anak remaja Rez. Aku kan tak mungkin selamanya disini”>
  “Ya aku tahu, tapi kan tidak secepat ini kau pulang, paling tidak sejam lagi”.
  “Apa?” Mata Annete membelak galak.
  “Aduh! Kalau kamu marah begini tambah cantik saja.. aduuuhh, kau..kau memukulku? Aku sekarat begini kau masih tega menyakitiku?”
  “Oh! Maaf, habis kamu nakal sekali padaku”. Gerutu Annete makin salah tingkah. Pukulannya memang cukup keras. Tak sadar tangannya mengusapi dada yang dipukulnya. Pada detik berikutnya Reza nekad mengecup Pipi Annete dengan sekali mengangkat kepalanya.
  “Reza! Lagi-lagi Annete memukul lebih keras dari sebelumnya karena keterkejutannya akan serangan laki-laki itu. Karuan saja Reza memekik kesakitan. Wajahnya meringis-ringis.
  “Sakit-sakit kok bemesraan?”  Gerutu Annete dengan mencibir.
  “Sudahlah jangan berpura-pura kesakitan”.
  “Habis kamu tidak juga menyatakan perasaan mu padaku. Kau juga sayang aku kan Annete?”
  “Haah? Tidak! Bantah Annete masih galak.
  “Apa? Tidak? Ahh.. mengakulah, aku sudah dapat membaca sikapmu”.
  “Eeeh.. kok kamu maksa? Aku kan sudah bilang tidak, lihat saja bagaimana aku kau cengkram kuat-kuat? Mana bisa aku bersimpati kalau ... Adduhh..!! Annete dibuat terkejut mengahadapi reaksi Reza yang seketika melepaskan cekalan tangannya dan memintanya untuk menyatakan cintanya langsung padanya.
  Binar mata Annete menembus tatapan Reza yang begitu dalam. Tubuhnya bergetar. Baru saja bibirnya digerakkan namun dikatupkan kembeali.
  “Apakah cinta harus dikatakan?”Tanya Annete menantang. Sebelum Reza menjawabnya mendadak kepala Annete menunduk dan bibirnya sekilas mengecup bibir Reza.
  Reza pun tidak tinggal diam dan bereaksi cepat, bibirnya menyambar bibir Annete dan mengecup dan melumatnya dengan penuh perasaan.
  Tangan Reza pun bereaksi, tangan yang satunya memegangi kepala Annete semakin agar ciuman mereka tak terlepas, dan tangan Reza yang yang satunya mulai bermain-main tepat menyentuh buah dada Annete, dan Annete pun terkejut seketika.
  “Oughh.. Rezzz..! Sekejap Annete melepaskan bibirnya dari lumatan bibir Reza.
  “Nakal sekali kamu Rez..! Ucap Annete yang saat itu wajah mereka masih saling berdekatan.
  “Annete.. ! kata Reza sejenak dan kembali tangannya memaksa kepala Annete untuk menunduk dan melumat bibir Annete.
  Tangan nakal Reza mulai meraba-raba kembali mencari ujung buah dada Annete, dan tangan Reza berhasil melepaskan tiga kancing kemeja yang dikenakan Annete. Belum cukup sampai disitu, Annete terengah ketika tangan Reza berhasil masuk ke dalam baju Annete. Dan jemarinya menelusup kedalam BRA yang dikenakan Annete.
  “Oooughhh! Rezz..! aghh..! Annete tersentak, manakala putingnya diremas dan dipilin-pilin oleh Reza. Entah mengapa Annete tidak menolaknya tapi justru membiarkan tangan Reza labih leluasa bermain di buah Dadanya.
  Tidak terduga pada saat bersamaan pintu kamar terbuka, ter dengar suara perawat.
  “Maaf jam bezuk sudd..dahh...”
  Terhentinya suara perawat bertepatan pula dengan terlepasnya kecupan mereka. Bukan main malunya Annete, sampai ia tak berani melihat si perawat. Untunglah si perawat cepat pergi, mereka ditinggalkan berdua untuk menyelesaikan segala sesuatunya, setelah diperingatkan.
  “Akk.. Aku pulang saja”. Kata Annete sambil membetulkan kacing bajunya begitu gugup dan malu. Langsung saja dia kaluar, tak dihiraukan panggilan Reza dan permintaan Maaf nya. Ooh! Dia benar-benar malu, rasanya belum pernah dia dipermalukan seperti tadi.

***

  “Papa telepon ke kantor katanya kamu sudah pulang?” Pertanyaan itu menyanbut kepulangan Annete.
  “Annete kan kerumah sakit menjenguk Reza Pa”.
  “Oya, hampir lupa. Apa barusan diluar kamu berpapasan dengan Reyni?”
  “Reyni? Tidak. Memangnya kenapa Reyni kesini?” tanyanya kaget bercampur tegang. Ada apa lagi wanita itu datang? Apakah membawa persoalan baru?
  “Dia minta bantuan Papa untuk menjualkan perusahaan mereka, maksudnya Reyni mau membawa Faisal pindah ke tempat lain. Selain utnuk melupakan kenangan buruk, telah dipikirkannya caara itulah yang paling memingkinkan menjauhkan Faisal dari orang-orang yang bisa memperparah kondisi jiwanya. Misalkan dari kamu Dani dan Reza”.
  Annete takjub mendengarnya sampai mulutnya ternganga. Faisal akan dibawa pergi ke tempat yang jauh. Itu baik juga. Tapi tak urung hatinya agak kacau membayangkan dia benar-benar ‘berpisah’ dengan orang yang pernah menjadi suaminya. Belasan tahun lamanya mereka hidup bersama. Mengapa awal yang baik di akhiri dengan sesuatu yang buruk? Tapi dibalik semua itu, ada hikmah yang dipetiknya.
  “Annete, kamu tak apa-apa Nak?” tanya Ibunya bersimpati. Sebagai sesama wanita Ibunya dapat menangkap perasaannya.
  “Apakah Dani sudah diberitahu Pa?”
   “Sudah. Papa kira dia sudah dewasa dan dengan jiwa besarnya dia bisa menerima perpisahannya dengan Papa nya. Reyni juga berjanji akan memberika alamatnya dan kapan saja Dani mau menjenguk Faisal akan diterimanya dengan tangan terbuka”.
  “Bagaimana dengan Papa yang dimintai pertolongannya untuk menjualkan perusahaan mereka?”
  “Bukan hal yang sulit, kita beli saja dan kita gabungkan dengan perusahaan kita, beres kan?”  Kata Ayah Annete dengan riang. Annete menganggukkan kepalanya berulang-ulang. Sekarang ia benar-benar lega menghadapi hari-harinya. Wajah Reza kembali terbayang, kali ini disusupi rasa rindu dan cinta.
  “Seharusnya kamulah orang yang pertama diberitahu Papa mu Anne”. Tambah Ibunya menarik perhatian Annete akan berita kedatangan Reyni.
  “jadi, bukan Annete yang tahu terlebih dahulu? Kalu begitu siapa?”
  “Papa mu langsung menelpon kerumah sakit dan memberitahu Reza!”
  “Aduh! Papa!” pekik Annete dengan wajah brsemu merah. Ayahnya benar-benar jatuh hati pada Reza. Jangan-jangan itulah syarat beliau dalam merestui hunbungan mereka.

***


  Annete baru saja masuk kedalam kamar pengantin malam itu setelah tamu-tamu pulang. Rupanya Reza sudah menunggunya didalam kamar dan lansung menyergapnya dengan agresif.
  “Aduh! Apa-apan Rez! Kamu benar-benar tak sabar menunggu aku berganti pakaian..” Katanya mengelakkan bibir Reza.
  “Habis kamu bikin aku gemas saja, sekarang aku sudah berhak menciummu, kamu tak boleh mengelak lagi”. Katanya membisik penuh gairah.
  Annete terkikik-kikik geli mengingat rasa malunya saat dipergoki perawat pada ciuman bibir mereka yang pertama kalinya. Sejak saat itulah Annete mati-matian menghindari bibir Reza. Sekarang laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu menagih tuntutannya serta apa yang menjadi haknya.
  “Ahh.. tunggu. Romantis sedkit kenapa sih Rezz.. kamu seperti orang ketinggalan kereta saja, grasa-grusu begitu. Ingat, ini tercatat dalam sejarah kita, ciuman yang kedua ini..hihihi..” Annete menggoda Reza habis-habisan. Yang digoda terang saja ia mencak-mencak, semakin gemas dan gregetan.
  “Oke, aku siapkan diriku menerima ciumanmu dalam bebrapa menit ini”. Ucap Annete mengalah. Ditariknya nafasnya dalam-dalam dan dihembuskannya perlahan-lahan.
  Kemudian tangannya dilingkarkan ke leher Reza dan terakhir kepalanya didongak-kan.
  “Ehm.. aku ingin kau cium setelah mengenakan gaun tidur yang lembut, transparan dan berwarna pink, kau bisa menungguku berganti pakaian Sayang?” Reza mengalah demi memenuhi keinginan Istri tercintanya.
  Tapi Reza mulai curiga dengan ulah Annete ketika persiapan mereka digagalkan karena mendadak istrinya ingin Pipis.
  Makanya saat Annete keluar dari kamar kecil, Reza langsung menyergapnya dan langsung mencium bibirnya bertubbi-tubi. Semula Annete gelagapan dan memprotesnya, tapi akhirnya dibalasnya kecupan hangat Reza dengan bergairah.
  “Ohhh... Nakalnya kamu...”
  “Akan tercatat dalam sejarah bahwa ciuman kita yang kedua didepan kamar mandi, habis kamu pipis saking tegangnya menghadapi malam pengantin kita... Ooohhhh...” Reza tidak dibiarkan mengoceh berkepanjangan karena bibir Annete menyumbatnya dangan ciuman yang paling indah dan mesra. Keduanya pun larut dalam gairah yang meledak-ledak. Kemesraan menautkan dua hti yang dilanda CINTA.

SELESAI

Cinta Yang Terenggut (Fredy S) - Bagian 5

FREDY S.
CINTA YANG TERENGGUT



Cerita ini adalah fiktif, bila ada persamaan nama, tempat maupun peristiwa, itu hanyalah kebetulan belaka, dan tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Bagian 5

  SUASANA diruang amakan agak berbeda dari ahri-hari bisanya. Karena ada tambahan dua orang yang cukup istimewa. Yang pertama adalah Dani dan yang kedua adalah Reza.
  Ayah dan Ibu Annete duduk berdampingan. Annete dan Dani berada didekat Ibu Annete sementara Reza duduk di apit Ayah Nanete dan Dani. Lima pasangan mata saling melirik satu sama lain ketika Ibu Annete menuangkan nasi ke piring mereka.
  “Silahkan, jangan sungkan-sungkan Nak Reza. Bagaimana? Sudah baikan setelah beristirahat semalam?”
  “Ya Bu, sudah baikan”. Jawab Reza agak kikuk.
  “Keterlaluan mereka, yang salah itu mereka , kok berani-beraninya menghajar kamu Rez, main keroyok lagi”. Gerutu Annete sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya.
  “Sudahlah Ann, yanng itu jangan dibahas lagi, mendingan yang dibahas kehisupan Nak Reza. Bayangkan saja Rez, masakah kalian sudah cukup lama bekerja sama tapi Annete tidak tahu dimana rumahmu, nomor teleponmu dan lain-lainnya. Apa tidak keterlaluan itu?” Tanya Ayah Annete  memunculkan senyum sang anak.
  “Bilang saja Papa mau bertanya pada Nak Reza, dimana rumahnya, nomor teleponnya berapa, istrinya siapa, berapa anaknya..” sela Ibu Annete.
  “Mama! Kok kayak sensus saja”. Sergah Annete menderaikan tawa yang mendengar. Reza yang senyum-seyum dikulum tersipu ketika Ayah Annete meminta jawabannya.
  “Ya om, Jawab dong, biar kita semua tahu”. Celutuk Dani agak nakal. Tak ada yang tahu kalau Dani mengedipkan sebelah matanya.
  Lantas Reza menyebutkan alamat rumahnya, nomor teleponnya, dan gambaran kehidupan pribadinya sekilas saja.
  “Maaf, kalau kemarin saya tidak bisa menyebutkannya karena percuma saja dibawa pulang. Hanya ada pembantu tua..”
  “Lha, Istri dan anak Nak Reza kemana?”
  “Anak saya studi ke luar negeri. Dan istri saya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena penyakit ginjalnya”.
  Annete terkesiap mendengarnya sedang orang tuanya memekik lirih.
  “Kasihan, kami ikut berduka mendengarnya. Kami sama sekali tidak tahu, Annete yang kami tanyai juga tidak tahu”. Ucap Yah Annete kemudian.
  “Kami tak dapat melawan kehendak Tuhan dan saya pribadi dapat menerima kenyataan itu”.
  “Aminnn..” Cetus Dani mengagetkan Annete yang mengira anaknya bercanda. Disikutnya lengan Dani sebagai peringatan.
  “Seharusnya memang begitu, kita ikhlaskan kepergiannya”. Kata Ibu Annete merasa terharu. Percakapan mereka usai bersamaan dengan usainya sarapan.
  Annete berpamitan pada kedua orang tuanya disusul Dani dan Reza. Ketiganya masuk ke dalam mobil yang semalam nyaris tertabrak. Setelah mobil melaju, Dani menyebutkan alamat sekolahnya dan Reza mengarahkan tujuan mereka kesana.
  “Om Reza, tolong ke sekolah Dani dulu ya..”
  “Eh.. Kantor Mama kan lebih dekat Dan? Kamu kok tidak kasihan Om Reza jadi mutar-mutar?”
  “Tak apalah Ann, lebih baik kita anatarkan Dani terlebih dulu, kalau terlambat dia masuk sekolah nanti ditegur Gurunya,” Timpal reza kompak. Dani tersenyum senang. Annete melirik kedua laki-laki didekatnya dengan lagak curiga tapi Dani Cuma cengar cengir saja.
  Mobil Reza meluncur terus sampai ke sekolah Dani. Setelah Dani diturunkan, Reza tak cepat-cepat menginjak pedal gasnya. Annete meliriknya keheranan.
  “Kenapa Rez?”
  “Sepertinya .. aku tak bisa cepat-cepat mengantarkanmu ke kantor. Tak apa-apa kamu naik taksi Ann?” Tanya Reza dengan wajah meringis.
  “Kamu.. kenapa?” tanya Annete mulai cemas.
  “Aduh! Mengapa kalau masih sakit kamu memaksakan diri mengantarkan kami?”
  Reza mendekap kedua perutnya dengan kedua belah tangannya. Sebelumnya sudah merasakan sakitnya, tapi Reza tidak menganggap serius, dikiranya rasa nyerinya akan berangsur mereda.
  “Aduh! Tak tertahankan Reza memekik, tangannya mendekap perutnya dengan wajah memucat.
  “Mana kotak obatmu Rez?” Tanya Annete tak tinggal diam menyaksikan Reza kesakitan. Kepalanya celingukan ke sekitarnya. Kotak obat Reza ditemukan tergeletak di jok belakang. Buru-buru Annete mengambilnya dan mengacak isinya sampai didapatnya sebotol minyak angin.
  “Sini.. kupakaikan Rez..” Annete mendekatkan tubuhnya. Perlahan-lahan tangan Reza dilepaskan dari perutnya. Dibiarkannya Annete membuka kemejanya, membubuhkan minyak angin ditangannya lantas perutnya di usap-usap.
  “Aku takkan tinggal diam kamu disini dalam keadaan begini Rez. Kalu terejadi sesuatu dengan dirimu..”
  “Aku pikir, biar kamu pergi ke kantormu dengan taksi, sementara aku disini menunggu Dani hingga pulang”. Kilah Reza masih meringis-ringis.
  “Mana bisa begitu? Lihat perutmu memar begini”. Omel Annete. Sambil mengomel, tangannya tetap mengusapi perutnya. Kelihatannya rasa sakit yang diderita Reza mulai berkurang bila melihat ekspresi wajah dan kelopak matanya yang terkatupkan.
  “Ann..” Panggil Reza dengn membuka kelopak matanya. Usapan tangan Annete terhenti.
  “Sudah baikan Rez?”
  “Hmm.. kalau tidak di usap tanganmu, kok kambuh lagi sakitnya..”
  “Apa? Kamu main-main Ya?”
  “Aduh! Jangan menuduhku begitu, masakah aku main-main? Kamu kan yang melihat memarku sampai membiru. Cobalah kau bayangkan ulu hatiku disodok tendangan orang kalap pas aku tidak siap? Sakitnya sungguh luar biasa sampai aku terkapar”.
  “Ya, aku tahu. Tapi kamu jangan bercanda”.
  “Aku tidak bercanda Annete!  Bukannya aku memanfaatkan kebaikanmu. Tapi.. Entah.. ada efek psikologis. Rasa nyeriku berkurang kalau kau usap. Yah, kalau kamu keberatan tak apa-apa. Oya Ann, sudah siang, apa sebaiknya kamu bereangkat ke kantormu?”
  “Aku akan pergi kalau kamu sudah baikan”. Kata Annete perlahan. Lantas di usap-usap lagi perut Reza dengan lembutnya. Reza menatapnya sendu. Terasakan desiran halus didada Annete.
  “Terimakasih Ann, kamu begitu baiknya padaku”. Bisiknya lirih.
  “Kamu juga baik padaku. Kalau kamu tidak membantuku..”
  “Ah, aku membantumu kan karena instruksi dari Pak Alam”.
  Annete mengernyitkan dahinya. Usapan tangannya terhenti. Kelopak mata Reza terbuka lagi, dua pasang mata bertatapan begitu dekatnya.
  “Betulkah itu Rez?” Tanya Annete seakan tak percaya.
  “Jadi kau membantuku karena instruksi Pak Alam, bukan karena kamu juga tergerak membantuku?”
  “Astaga! Reza jadi blingsatan menyadari makna tertentu dari pertanyaaan-pertanyaan wanita itu. Maksudnya untu merendahkan diri, tidak menyombongkan kemampuannya dalam menolong Annete, tapi ditafsirkan berbeda seakan pertolongannya hanya karena instruksi dari atasannya.
  “Annete! Pekik Reza tertahan.
  “Aku tidak terpakasa menolongnu, aku..”
  “Sstt! Aku tahu, Rez. Makanya jangan terlalu sungkan padaku. Sakit saja kau tahan-tahan”. Tukas Annete berlagak mencak-mencak. Senyumnya dibalas senyum Reza yang mirip seringai.
  “Sudah baikan belum?” Tanyanya lagi melambatkan usapan tangannya.
  “Ya sudah”. Jawab Reza pasrah. Annete benar-benar mengenstikan usapan tangannya dan merapikan kemejanya.
  “Ku antar kau ke kantormu”. Katanya sambil menghambuskan nafasnya.
  “Jangan dipaksa Rez. Sebaiknya kamu beristirahat”.
  “Tidak, aku sudah baikan dan sudah bisa menyetir”. Putusnya berkeras. Annete tidak berdaya mencegahnya. Reza mengemudikan mobilnya pelan-pelan.
  “Lebih baik kita pulang ke rumahmu saja Reza. Aku bisa naik taksi ke kantorku. Kau harus bristirahat. Kalau kau antarkan aku kekantor dan lantas kamu pergi kekantormu, aku kuatir kamu kenapa-kenapa dijalan. Aayola, kita pulang kerumahmu, sekalian aku mampir kesana”. Kata Annete mengarahkan tujuan mereka. Kali ini Reza tidak membantah.
  Setibanya dirumah Reza, mobil disimpan digarasi dan tubuh Reza dipapah masuk kedalam rumah dengan bantuan pembantu Reza.
  “Hari ini kau tak usah masuk kantor, kamu perlu beristirahat. Nanti sore aku akan datang lagi mengantarkanmu ke doker.
  “Ah, tak perlu repot-repot Ann, kamu sendiri sibuk dengan pekerjaanmu. Kau tak perlu menemaniku ke dokter, aku bisa telepon ke kantor memberi tahu keadaanku dan minta dikirimkan dokter perusahaan. Terimakasih atas perhatian dan bantuanmu Ann. Sekarang kau sudah lega aku ada dirumah kan? Dan sebaiknya kamu berangkat ke kantormu Annete”.
  “Aduh! Kamu kok mengusirku?”
  “Oh! Maksudku bukan begitu, aku tak mau pekerjaanmu terganggu karena menguatirkan diriku terus-menerus”. Kilah Reza pula. Lantas tangannya begitu saja menyentuh jari-jemari Annete.
  “Kalau kamu mau berlama-lama disni, menjagaku, mengusapku kalau sakit, ya aku tak menolak”.
   “Reza”. Desis Annete mengerling. Dengan gerakan tangan yang tidak kentara, dijauhkan tangannya dari tangan laki-laki itu.
  “Baiklah, aku pergi Rez. Baik-baik ya kamu beristirahat”. Annete beranjak tapi langkahnya tertahan saat didengar Reza memanggilnya.
  “Ya, ada apa Rez?”
  “Terimakasih Annete!”
  Annete tersenyum rikuh, tubuhnya dibalikkan dan kakinya dilangkahkan keluar.

***

  Hari sudah sore ketika Annete pulang kerumahnya. Yang pertama dilihatnya diteras rumah adalah Dani. Anaknya itu sambil bermain gitar sambil bernyanyi-nyanyi.
  Sementara diruang keluarga, kedua orang tuanya sedang asik menonton televisi.
  “Tadi Papa kekantor?” Tanya Annete ikutan duduk. Ayahnya membenarkan dengan menganggukkan kepalanya.
  “Pap sudah mengira kamu mengurusi Reza yang masih sakit, jadi Papa menyusul kekantor dan menerima sejumlah pembayaran yang dijadwalkan hari ini, lantas Papa setor ke Bank, dari Bank Papa telepon ke kantor dan diberi tahu kalau kamu suda datang, karena itulah Papa langsung pulang”.
  “Ya, ditengah jalan Reza sakit. Annete paksa ia kerumahnya untuk beristirahat. Baru dari sana Annete ke kantor.
  “Sudah baikan Reza?” Tanya Ibunya yang rupanya menaruh perhatian pada Reza. Annete menganggukkan kepalanya. Merasa segan ditanyakan perihal Reza, Annete pun berlalu.
  Hari sudah gelap ketika Annete keluar dari kamarnya seusai mandi. Waktu makan malam, pikirnya sembari mengarahkan langkahnya ke ruang makan. Disana Ibunya sibuk menata meja makan. Dani sendiri sudah tak sabr ingin segera makan, melihat Ibunya muncul, dipanggilnya kakeknya untuk bergabung.
  Tak lama kemudia Ayah Annete muncul. Dani bersorak kegirangan. Tinggal Annete yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
  “Dani.. Dani .. sudak besar kok seperti anak kecil saja”.
  “Ehm! Ayah Annete berdehem cukup keras. Annete meliriknya keheranan. Bukankah Ayahnya belum menyuap makanannya, kok seperti tersedak saja?
  “Minumnya Pa”. Kata Ibu Annete seraya meletakkan segelas air putih didekatnya. Rupanya acara makan sudah dimulai. Dani melahap makanannya dengan asiknya.
  “Papa mau tanya kamu Ann”. Mengapa kamu tidak melaporkan pada Papa kalau penjegalan tempo hari, sebelum Papa masuk rumah sakit itu dilakukan Faisal?”
  “Apa?” Ibu Annete terpekik keras sampai nasi di sendoknya tak jadi dimasukkan ke dalam mulutnya. Annete melongo. Dani memperlambat kunyahannya sambil melirik kesana-sini.
  “Kenapa Annte?” Tanyanya dengan suara menghentak.
  “Kurang ajar si Faisal Mam!”
  Ibu Annete yang kaget tidak melontarkan kata-kata saking kagetnya. Annete pun jadi tegang. Nasinya hanya di aduk aduk saja. Hanya dani yang tetap mengunyah meski kunyahannya diperlambat.
  “Kalau tadi pagi Papa tak sengaja ke kantor atau bertanya sama anak-anak, entah sampai kapan Papa akan tahu karena kamu sengaja tidak memberitahu Papa mu”.
  “Waktu itu Papa baru masuk rumah sakit, saya mau memberitahukannya tapi ragu. Lantas karena sekarang sudah bisa saya atasi, saya pikir..” Annete tidak melanjutkan kata-katanya.
  Pada saat genting itulah terdengar dering telepon. Dani tersentak. Dengan refleksnya ia berlari untuk mengankat telepon dan menjauhkan dirinya dari situasi yang tidak mengenakan.
  Ketiga orang di ruang makan berdiam diri seakan menuggu Dani kembali. Praktis pembicaraan sebelumnya tidak dilanjutkan. Tak lama mereka menunggu terdengar suara langkah setengah berlari dan suara dani berpamitan.
  “Opa, Oma, Mama, dani Dani pergi keluar sebentar..”
  “Kemana?” Tanya Annete.
  “Habiskan dulu makanmu Dan!”
  “Nanti sajalah, hanya sebentar kok Ma!”
  “Dani! Tunggu!” Annete mengejar anaknya. Sayang tidak terkejar, Dani melesat bagai anak panah  saja, begitu cepatnya dia menghilang.
  “Dani kemana?” Tanya Ibunya penasaran. Annete mengangkat bahunya.
  “Kita teruskan makan”. Ucap Ibunya menyeruapai instruksi. Ayah Annete mematuhi. Ditahankan keinginannya untuk bicara perihal Faisal. Annete sendiri berusaha melpakan ketegangan yang dirasakannya dengan menikmati makan malamnya.
  Sampai akhirnya makan malam sudah usai. Piring-piring kotor sudah Annete bersihkan, tapi Dani belum pulang juga. Aneh, janjinya hannya sebentar saja tapi kok yang ditunggu tidak muncul-muncul.
  “Kemana Dani Ann?”
  “Tidak bilang kemana, begitu saja kabur”. Keluh Annete kebingungan.
  “Ya.. ditunggu aja, barangkali sebentar lagi dia pulang. Anak jaman sekarang memang begitu. Mau pergi tidak bilang tujuannya, kalau kenapa-kenapa orang tua yang susah”. Omel Ayahnya belum melepaskan ganjalan dihatinya.
  “Ann.. apa kamu sering ketemu Faisal?” Tanya Ibunya kemudian.
  “Ah.. tidak pernah lagi Ma”.
  “akan kita balas dia. Tunggu saja, Papa sedang menghimpun kekuatan dan mencari caranya”. Kata Ayah Annete masih beremosi. Ibunya segera menenangkan dengan lembutnya.
  “Kataanya sebentar, sudah satu jam kok belum pulang?” Guman Annete pada diri sendiri. Dia mondar-mandir dengan lagak bingung.
  “Coba tanyakan teman-temannya Ann..”.
  “Apa Mama punya catatan nomor telepon teman-temannya?” Annete balik bertanya.
  “Masa mama punya catatan nomor telepon teman-temannya? Harusnya kamu yang tahu”. Tegur Ayahnya bikin Annete bertambah panik.
  “Seharian ini dia kemana aja sih Ma?”
  “Sepulang sekolah dia pergi, katanya kerumah Reza”.
  “Haah! Ke Rumah Reza? Ada apa dia kesana?”
  “Katanya mau menjenguk Reza”. Annete tercengan mendengar jawaban Ibunya. Ya, memang Dani menjenguknya. Tapi darimana dani tahu sehabis mengantarkannya k sekolah , Reza sakit? Annete teringat kerlingan mata anaknya ketika mereka berada dalam mobil, apalagi semalam juga keduannya sekamar.
  “Apa mungkin barusan Reza yang menelpon Dani?” Tanyanya menebak-nebak. Setelah dipertimbangkan, Annete menelpon Reza untuk menanyakan Dani. Pembantu Reza yang menererima telepon mengatakan Dani tidak datang dan Reza sedang tidur.
  Annete kecewa sekali. Ibunya segera menenangkannya. Mereka menunggu Dani dengan gelisah. Pukul sepuluh malam Dani pulang dengan tubuh letih, pakaiannya lusuh serta wajah kuyu.
  “Dani, kamu kemana?”
  “Ada teman yang kecurian Ma. Jadi Dani datang membantunya menghadapi polisi”. Jawabnya singakat sambil meminta Maaf. Seketika Annete pun terluluhkan.
  “Ya sudahlah, kamu masih lapar, Mama hangatkan sayur ya?”
  “Tak usah lah Ma. Dani mau tidur saja”. Katanya sambil ngeluyur masuk kekamarnya. Annete menggeleng-gelengkan kepalanya.
  Ke esokan harinya entah mengapa pagi-pagi Annete menelpon Reza. Lagi-lagi pembantunya yang mengangkat telepon, menyatakan majikannya masih tidur. Diam-diam Annete berencana mampir kerumahnya untuk memberikan suatu kejutan.
  Sayangnya Reza sudah berangkat saat annete tiba dirumahnya. Pembantunya menyatakan baru saja Reza pergi.
  “Hmm! Perginya tidak bawa mobil Bik?” Tanya Annete saat melihat mobil Reza ada digarasi.
  “Ya naik taksi Bu”.
  “Kenapa naik taksi? Masih sakitkah pak Reza?”
  “Kelihatannya masih sakit Bu”. Jawab si pembantu yang kelihatan agak bingung. Annete berpamitan dengan kecewanya. Rencananya memberikan kejutan gagal. Padahal ia mau membalas mau mengunjungi Reza sebagimana laki-laki itu kerap muncul dikantornya tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  Diliputi rasa penasaran, Annete menelpon Reza sesampanya dikantor. Jawaban operator agak mencengangkan. Reza belum datang.
   “Masa’ belum datang? Barusan saya cek kerumahnya, dia sudah bernagkat”. Protesnya pula.
  “Barangkali masih dalam perjalanan atau beliau mampir ke suatu tempat”. Jelas operator.
  Hingga Annete tidak ingat lagi menelpon Reza karena kesibukannya bekerja. Sampai siangnya ia menerima telepon dari Ibunya.
  “Kalau kamu sudah makan siang, cepatlah susul Papa mu kerumah sakit”.
  “Hah! Papa masuk rumah sakit lagi Ma?”
  “Bukan. Tapi Reza Ann..! Mama sendiri tidak begitu jelas sakitnya apa, apakah akibat pemukulan tempo hari. Yang jelas tadi pagi Papa mu ditelepon wali kelas Dani yang menanyakan ketidak hadiran anakmu. Papa mu kaget tidak mengira Dani membolos. Nah, barusan Dani pulang seperti tak ada apa-apa. Makannya juga lahap seperti biasanya, jadi Papa mu curiga dan mengamati gereak-geriknya. Setelah makan, Dani pergi, Papa mu mengikutinya. Dan tadi Papa mu baru menelpon Mama untuk memberitahu dan menyuruh kamu menyusul kerumah sakit. Dari ru,ah sakit Papa mu susah sekali menghubungimu karena line teleponmu sibuk”. Jelas Ibu annete menyebutkan nama rumah sakit dimana Reza dirawat.
  Annete menyanggupi untk menyusul Ayah anaknya secepat mungkin. Dibereskan pekerjaannya dengan pikiran yang bercabang karena ulah anaknya. Ada apa Dani berbohong padanya dan pada oranag tuannya?  Malahan sampai membolos segala. Dan mengapa Reza berada dirumah sakit kalau sebelumnya dia sudah membaik dan bisa berangkat ke kantornya untuk bekerja seperti biasanya? Diburu pertanyaan-pertanyaan itulah Annete pergi ke rumah sakit.
***
  Tergopoh-gopoh Annete menyusuri korindor rumah sakit. Dicarinya kamar perawatan Reza dengan kepala celingukan. Larinya dipercepat ketika kamar yang dicarinya sudah terlihat.
  “Ooh! Ya Tuhan! Pekik Annete ketika masuk kedalam kamar perawatan Reza dan mendapatkan laki-laki itu terbujur dengan balutan perban dan luka-luka yang cukup parah.
  “Pa, Dani! Reza kenapa?” Tanyanya pada dua orang yang mematung disisi pembaringan.
  “Dani!” Panggil Annete sambil mengguncang lengan anaknya. Ayahnya menghela nafas dan mengisyaratkan mereka keluar agar tidur Reza tidak terusik.
  Beriringan mereka keluar menuju taman disisi rumah sakit. Annete sudah tak sabar ingin mengetahui latar belakang kejadian itu. Ayahnya menunjuk Dani untuk menjelaskan.
  “Dani juga tak tahu, kemarin Dani di telepon Om Reza minta bala bantuan. Ya Dani datang ke rumahnya. Ketika sampai Om Reza sudah dalam keadaan begitu, jadi Dani bantu mengantarkannya ke rumah sakit. Terus paginya Dani jenguk lagi untuk menanyakan, eh.. dia masih berada di ruang ICCU. Waktu Opa datang, baru saja Om Reza dibawa ke ruang perawatan jadi Dani belum sempat bicara banyak”.
  “Mengapa kamu tidak ceritakan kalau semalam Reza babak belur dan terluka?” Tanya Ayah Annete agak marah.
  “Karena.. permintaan Om Reza sendiri”.
  “Apa semalam dia masih bisa bicara dan kamu tidak mengorek keterangan mengenai musibah yang di alaminya?” Tanya Annte yang dijawab dengan gelengan kepala Dani.
  “Dani sudah tanya tapi dia tidak menjawabnya Ma!”
  Annete tidak berdaya. Dipalingkan wajahnya ke arah Ayahnya yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
  “Saya mau tunggui Reza Pa. Papa sama Dani pulang saja”. Katanya dengan wajah keruh. Ayah Annete diam saja, membiarkan anaknya pergi.
  Annete balik ke kamar Reza. Ditariknya satu-satunya kursi yang ada kesisi pembaringan. Dengan hati-hati dipegangnya jari-jemari Reza yang tidak bergerak.
  Lama sekali ditungguinya Reza dengan perasaan berkecamuk. Bingung, sedih, kalut, marah dan tak percaya. Annete juga berusaha menebak-nebak beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi dibalik musibah beruntun yang dialami Reza.
  Tersentak Annete merasakan jari-jemarinya digenggam tang Reza yang sudah bergerak. Rupanya Reza mulai tersadarkan. Dengar saja gumamannya, meski tidak jelas tapi menunjukkan tanda-tanda siuman.
  Annete menatapinya dengan mata yang nyaris tidak berkedip. Bagaimana bibir Reza bergerak-gerak, lantas kepalanya ikut bergoyang dan terakhir kelopak matanya perlahlan-lahan membuka.
  Beberapa saat Annete menunggu reaksi Reza. Mudah-mudahan saja Reza masih mengenalinya. Kalau tidak, pastilah dia gegar otak.
  “Annete...” leganya Annete mendengar namanya dipanggil dengan sempurnanya.
  Mata Reza mengerjap beberapa kali. Dilarikan pandangannya disekelilingnya.
  “Kamu ada di rumah sakit Reza”. Annete memberi tahu.
  “Dani kemana?” Tanyanya membingungkan Annete. Mengapa anaknya yang ditanyakan dan pemberitahuannya tidak terlalu ditanggapi?
  “Dani ada, sejak pagi kan menungguimu. Tadi baru saja ku suruh pulang supaya bisa bergiliran menungguimu”. Jawab Annete.
  “Ada perlu apa kamu sama Dani? Kalau ada permintaan janganlah sungkan memintanya padaku. Lho kok diam saja Rez? Kamu kenapa? Ceritakanlah padaku apa yang sudah terjadi?”
  “Aku tak apa-apa Annete. Nantilah kuceritakan kalau sudah sembuh, aku janji”. Katanya dengan suara lirih.
  “Hmm.. Bagaimana dengan putrimu Reza? Apakah mau kau beritahukan dia tentang keadaanmu?”
  “Jangan Ann, Tak usah lah. Terimakasih atas perhatianmu. Aku jadi terharu kau begitu memperhatikanku Annete. Bolehkan aku meminta satu hal padamu?”
  “Permintaan apa? Katakanlah reza?”
  “Kamu bisa sering-sering menjengukku Ann?”
  “Oya, Bisa.. bisa Rez, mau kubawakan apa kalau datang? Buah-buahan atau..”
  “Aku sudah cukup bahagia kau datang, jangan bawa apa-apa, bawa saja dirimu”.
  “Aduh! Sakit-sakit begini kamu masih bisa bercanda. Tentu saja aku datang membawa diriku”. Tanggap Annete dengan senyum gelinya. Mereka berbicara hal-hal yang menyenangkan untuk menghibur Reza. Ketika Annete berpamitan, Reza melepaskan dengan tatapan matanya.
  Termangu-mangu Annete menyusuri koridor rumah sakit sampai suara panggilan seseorang menyentaknya.
  “Aha! Benar, kamu Annete kan?” Tanya seorang laki-laki setengah baya yang bertubuh subur.
  “Pak Alam! Apa kabar? Mau menjenguk siapa? E-eh.. kapan kembali dari Amerika?” Tanya Annete bertubi-tubi dengan suara memekik.
  “Wah! Wah! Pertanyaanmu bertubi-tubi, saya kebingungan menjawabnya. Begini, kemarin saja tida di jakarta dan tapi pagi saya mulai ngantor. Saya tunggu-tunggu kok Reza belum juga datang, saya telepon kerumahnya kata pembantunya sudah berangkat. Masakah tidak sampai-sampai ke kantor biarpun kemacetan disana-sini? Lalu saya telepon lagi pembantunya, eh.. jawabnya begitu juga. Saya jadi kesal, saya datang kerumahnya, barulah pembantunya mengaku disuruh berkata begitu pada siapa saja yang menelpon. Tapi berhubung yang datang itu saya, dia mau memberitahaukan keadaan sebenarnya kalau Reza masuk rumah sakit karena semalam didatangi beberapa orang yang menghajarnya sampai babak belur”.
  “Ooh! Jadi... Mengapa mereka... mengahajarnya Pak Alam?”
  “Justru itulah yang ingin saya ketahui, makanya saya datang menjenguknya. Ngomong-ngomong apa kamu sudah tahu latar belakang pemukulan semalam Ann?”
  “Wah! Saya belum tahu, tadi saya mendesaknya tapi dia tak memberi tahu, katanya nantilah akan diceritakan kalau sudah sembuh”.
  “Begitukah? Huuh! Ada-ada saja. Okelah Ann, saya mau menjenguknya, kapan-kapan kita ngobrol ya?” Annete menganggukkan kepalanya mempersilahnkan mantan atasannya untuk mejenguk Reza. Dia sendiri berjalan keluar rumah sakit.

Bersambung...

Cinta Yang Terenggut (Fredy S) - Bagian 4

FREDY S.
CINTA YANG TERENGGUT



Cerita ini adalah fiktif, bila ada persamaan nama, tempat maupun peristiwa, itu hanyalah kebetulan belaka, dan tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Bagian 4

  PUKUL lima sore. Tubuh Annete dihempaskan ke tempat duduknya dan kakinya diselonjorkan. Hari ini kegiatannya amat padat, tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Annete harus mendampingi anak buahnya mengunjungi pelanggan mereka dan mengevaluasi kegiatan yang sudah mereka lakukan.
  Sekarang wanita itu terduduk keletihan. Belum bisa beranjak dari ruang kerjanya menunggu laporan-laporan anak buahnya yang baru kembali sore hari.
  “Selamat sore!” Sapa Reza setelah seorang karyawan Annete mempersilahkannya masuk k eruang kerja Annete.
  Annete melempar senyum dan mengisyaratkan Reza untuk duduk. Berbeda dengan penampilannya yang sudah tak karuan, Reza tampil menawan meski seharian bekerja dikantornya.
  “Terimakasih, kau masih mau mampir”. Kata Annete dengan tertawa. Hubungan mereka yang semakin erat memungkinkan ke akraban itu berkembang dalam komunikasi mereka.
  “Kebetulan rumahku searah dengan kantormu, apa salahnya aku mampir”. Jawabnya ramah. Karyawan yang membawakan minuman dihadiahkan ucapan terimakasih. Baru saja Annete ingin bertanya dimanakah alamat rumah Reza, telepon berdering.
  “Hallo? Ya, Saya sendiri. Ooh! Kamu Dani, Ada apa? Haaah!? Apa? Ya kenapa..? Jadi kamu sudah bilang pada mereka? Apa reaksi mereka? Begitu..? Ya sudah, jangan cerita macam-macam sama Opa dan Oma mu ya. Ya sebentar lagi Mama Pulang”
  Annete meletakkan teleponnya. Ditariknya nafas panjang sebelum Reza meliriknya.
  “Silahkan minum Rez”. Ucap Annete yang tidak ada hubungannya dengan hasil pembicaraannyalewat telepon, padahal Reza menangkap ada yang kekuatiran dalam suara Annete.
  “Kau mau pulang? Ku antarkan ya?”
  “Terimakasih Rez, biarlah aku pulang naik taksi, masakah aku harus sering-sering kau antar pulang? Kalau kau antarkan aku ke supermarket ya boleh-boleh saja. Tapi kalau untuk pulang, nanti aku ke enakkan kau antar..haha..ha..”.
  “Ah..tak apa-apa Ann, aku antar ya?” Desak Reza tak menyerah.
   “Kebetulan Papa mau berkenalan denganmu, Tapi kau siap tidak?”
  “Kenapa tidak?”
  “Oke! Kalu begitu”. Jawab Annete ringan. Dikemasi barang-baarangnya.  Hanya sebentar saja mereka berdua beriringan keluar kantor Annete,
  “Aku tak yakin rumahku searah dengan rumahmu, kalau rumahmu sudah searah dengan kantorku. Letaka kantor dan rumahku kan dari ujung ke ujung”.
 Ucapan Annete ditanggapi Reza dengan senyum simpul.. Ketika Annete melirik Reza, Laki-laki itu tersipu dipergoki sedang meliriknya pula. Hati Annete berdesir aneh. Ugh! Ada apa nih?
  “Ann.. Annete ..” Panggil Reza berulang-ulang. Annete yang sudah menyandarkan ke belakang baru menangkap suara panggilan Reza yang duduk dibalik kemudi.
  “Ohh! Eh! Ada apa?” Tanyanya begitu rikuh. Kali ini Reza lah yang memergokinya sedang melamun, padahal mereka baru saja masuk kedalam mobil.
  “Ah.. kalau kamu asik melamun, sory kubuyarkan”.
  “Hm.. aku memikirkan Dani”. Kata Annete yang secara tidak langsung yang menyatakan dirinya tidak sembarang melamun sebab isi lamunannya adalah anaknya.
  “Ya tak apa-apa kamu memikirkan yang lainnya, tak Cuma Dani” Kata Reza menyengat telinga Annete. Dengan cepat kepalanya berpaling, Wajah Reza kedepan dengan tangan memutar kemudinya hanya sekilas dilihatnya. Keburu Annete tersadarkan akan ‘kelakuannya’ dan dikembalikan posisi kepalanya lurus kedepan. Uh, hampir saja Annete lepas kendali, tangannya nyaris terangkat untuk menepuk pangkal tangan lengan Reza yang begitu dekatnya.
  Dadanya berdesir-desir. Annete kebingungan mendapati perbedaan perasaannya sekarang dibandingkan sebelumnya, ketika merekan bersama-sama ‘keluyuran’ dari supermarket ke supermarket lainnya. Sepanjang perjalanan topik pembicaraan mereka sekitar bisnis Annete. Nada sudara mereka meninggi . Bila membahas kegagalan dan upaya menanggulanginya. Tak sungkan-sungkan Annete membelalakkan matanya atau kadang berdecak kesal. Reza pun berbicara tanpa jeda, selalu mensuport wanita itu. Suaranya berdengung-dengung di telinga Annete.
  Itulah yang terjadi sebelumnya. Sekarang jauh berbeda. Mungkinkah karena terpengaruh keberhasilan mereka? Permintaan yang mulai menumpuk dan kesulitan-kesulitan yang tertanggulangi seakan meredakan emosi den ketegangan mereka.
  Karena itukan hatinya berubah? Desirannya mengingatkan masa lalunya ketika ia jatuh cinta pada Faisal. Astaga! Annete kaget sendiri menyadari kesamaan itu. Apakah dia.. Ohh! Idak bole! Dia tidak boleh berperasaan macam-maca, dia harus berkonsentrasi memusatkan perhatinnya pada tugas dan tanggung jawabnya.
  “Aduh! Apa-apaan! Teriak Reza dengan mendadak menginjak Rem. Sekonyong-konyong sebuah mobil berkecepatan tinggi dari arah berlawanan membelok sedemikian rupa nyaris menyenggol moncong mobil Reza kalau ia tidaka maenginjak Rem pada saat saling menentukan.
  “Aduh, mau apa mereka?” Tanya Annete melihat dua orang turun dari mobil yang hampir mencelakakan mereka.
  “Kurang ajar, sudah bersalah, eh sok jagoan! Rutuk Reza.
  “Jangan turun rez. Jangan layani mereka”. Kata Annete menyarankan. Nampaknya sarannya sia-sia belaka. Reza sudah berang, tangannya membuka pintu mobil siap menghadapi orang-orang yang disebutkannya jagoan.
  Dari dalam mobil Annete ketakukan menyaksikan pertengkaran mulut antara Reza dan dua orang lawannya. Meski dalam ketakukan, Annete sempat menurunkan kaca mobil dan menyarankan Reza untuk kembali kedalam mobil, tapi sayang peringatannya tidak digubris sama sekali.
  Ketika Annete menyaksikan seorang diantara lawan Reza melayangkan sebuah pukulan cukup telak, tubuh Reza menjadi limbung, Annete berteriak sekuaat-kuatnya meminta pertolongan. Bayangan gerakan tangan-tangan lawan Reza berkelabatan dimatanya, terlihat pula seorang lawan menendang Reza hingga sejajar di trotoar. Annete memencet klakson hingga lawan-lawan Reza berlarian kabur.
  “Ohh! Reza!” Pekik Annete dengan perasaan tak terperikan. Dia meloncat keluar mendekati tubuh Reza di trotoar. Pejalan kaki yang malihat insiden itu dena mendangar klakson yang dibunyi-bunyikan, merubunginya. Beberapa orang membantu memapah Reza ke dalam mobil sambil mengecam tidakan biadab itu.
  Setelah Reza direbahkan di jok belakang Annete kebingungan sendiri karena ia tak dapat menyetir. Untunglah di antara penolong ada yang berinisiatif menawarkan bantuannya mengemudikan mobil Reza ke rumah Annete. Sungguh Annete amat bersuykur mendapatkan bala bantuan yang amat tulus dari orang-orang yang tidak dikenalnya.
  Kepulangannya dengan membawa Reza yang masih pingsan, menggempurkan seisi rumahnya. Baik orang tuanya, Dani dan pembantunya beramai-ramai mengerumuni Reza yang dibaringka di sofa.
  Orang yang menolong annete berpamitan setelah sekeluarga menyampaikan ucapan terimakasih atas pertolongannya.
  “Sayang sekali orang-orang disekitar kejadian itu tidak semapt mencatat nomor plat mobilnya Pak”. Cetus orang yang menolong Annete. Ayah Annete hanya tersenyum kecut, langkahnya mengiringi kepergian si penolong.
  “Tak apalah Bung, kami jadikan insidan ini sebagai pelajaran dan para pelakuknya kelak akan mendapatkan ganjaran setimpal”. Ucap Ayah Annete berbesar jiwa.
  Sepeninggal orang yang menolong Annete, orang tua dan anaknya menanyainya macam-macam. Sadarla Annete akan pentingnya alamat rumah Reza.
  “Kalau kamu tahu, kamu kan bisa langsung mengantarkan kerumahnya, biar Reza di urus keluarganya. Tidak seperti sekarang, bagaimana kita menghubungi istrinya? Ya. Syukurlah cederanya tidak parah, itu saja yang melegakan papa”.
  “Apakah kita tak bisa menelpon ke kantornya menanyakan alamat rumah atau nomor teleponnya?” Dani mengusulkan sarannya.
  “Ya Pa”.
  “Tak usah, bikin heboh orang sekantor kalau tahu Reza dicelakakan orang”. Cegah Ayahnya Annete membatalkan niat anaknya menelpon ke kantor Reza.
  “Ambilkan eau de cologne, kita harus menyadarkannya “. Kata Ayah Annete memerintah. Ibu Annete bergerak mengambilkan apa yang diminta suaminya. eau de cologne dihubungkan ke saputangan yang dihirupkan ke hidung Reza. “oohgg! Ohhghh! Oh! Reza berguman tak jelas. Terlihat gerakan kepalanya menandakan ia siuaman setelah menghirup aroma eau de cologne.
  Tak lama kemudia kelopak matanya terbuka. Ayah Annete mengisyaratkan anaknya untuk berkomunikasi dengan Reza.
  ‘Rez, ini aku Annete. Syukurlah kamu sudah sadar. Sekarang kamu berada dirumahku. Perkenalkan ini adalah Ibuku, ini Ayahku dan ini Dani, anakku. Sst! Jangan banyak bicara, kamu harus beristirahat. Sebentar lagi kalau tubuhmu sudah mulai membaik, Dani dan Papa akan membawamu ke kamar. Tak apa-apa malam ini kau tidur disini bersama Dani kan? Oya, beritahukan nomor telepon mu, nanti aku akan memberitahukan istrimu”. Tanya Annete pelan-pelan agar dimengerti Reza.
Pertanyaan tidak dijawab Reza. Malahan kepalanya digelengkan meski amat lemah.
  “Sebutkan nomor teleponmu, nanti aku akan telepon istrimu supaya dia tidak kuatir kamu tidak pulang”.
  “Tak peerlu Ann. Tak ada orang dirumah, kecuali pembantuku”. Katanya menolak. Annete tidak biasa memakasa.
  “Kalau Reza sudah sadar, kamu madi dan makanlah, biar kami menjaga Reza”. Ibunya mengingatkan Annete untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Dengan perasaan kacau Annete mandi dan makan.
  Seusai makan, disusulnya Reza yang sudah dipindahkan ke kamar Dani, Didapatinya Reza terbaring lemah dengan mata terkatup. Dani menungguinya sambil membaca buku pelajaran.
  “Dan, kemapa Oma dan Opa?”
  “Sudah tidur Ma, baru saja”.
  “Mereka tanya apa saja pada Om Reza?”
  “Sama sekali tidak bertanya apa-apa, malahan menyemangati dan menasehati Om Reza untuk makan. Oma yang menyuapi makan, habis separuh piring. Habis itu dia tidur, tapi sebelumnya semapt minta Dani menggosokkan perutnya dengan param kocok”.
  Annete menarik nafas panjang. Dengan hati-hati ia duduk disisi pembaringan bersisian dengan Dani.
  “Mama belum sepenuhnya mengerti pembicaraanmu ditelepon Dan. Kamu sudah bilang sama Papa mu dan Reyni akan pindah kemari? Lantas Papa mengizinkan begitu saja Dan?”
  “Ya Ma, Dani kan yang berkeras merasa tak kerasan lagi tinggal disana!”
  “Papa mu tidak curiga?”
  “Oh! Tidak, pasti tidak Ma.”
  “Lantas mengapa kamu mendadak pindah tanpa brekonsultasi dulu sama Mama?”
  “Dani perkirakan sendiri waktunya kan sudah memungkinkan. Mama sudah mampu mengatasi persoalan dikantor dan rasanya Dani juga tak perlu berlama-lama memata-matai Papa”.
  “Darimana kamu tahu mama sudah berhasil mengatasi persoalan dikantor?”
  “Lho, memangnya belum Ma?”
  “Jawab dulu pertanyaan Mama. Kamu tahu darimana? Dari Papa?”
  Dani mengagukkan kepalanya sebagai jawabnya. Annete terdiam merenungi pengakuan anaknya.
  “Bagaimana bisnis Papa mu Dan?”
  “Lancar-lancar saja Ma”. Jawab Dani tanpa penjelasan seperti tentang kelancaran yang dimaksudkannya.
  “Persoalan dikantor Mama bagaimana? Sudah teratasi kan?” Tanyanya penasaran.
  Annete mengagukkan kepalanya. Ditepuk-tepuknya bahu Dani dengan lembut.
  “Sekarang kau sudah bersama Mama lagi. Hentikan semua pengamatanmu terhadap Papa mu, Mama ingin kita terlepas dari bayang-bayangnya. Paham kamu Dan?”
  “Ya Ma, Dani mengerti”.
  “Bagus! Sekarang jagalah Om Reza baik-baik. Kalau ada yang diminta, tolong kau penuhi ya. Mama mau beristirahat, hari ini capek sekali, apalagi dengan kejadian yang menimpa Om Reza. Ah, mengerikan! Mereka menghakarnya padahal bukan Om Reza yang bersalah”. Ucap Annete dengan kepaala digelengkan.
  Sesaat Annete teringat perasaan-perasaan ganjilnya tak kala Reza yang terlelap dengan damai. Kelopak mata yang terkatup rapat. Serapat bibirnya. Kepoosan menyelimuti wajahnya. Dan bayangan kejadian mengerikan itu mendesiskana suatu lontaran.
  “Kasihan..”
***

  “Dani...”
  Oh! Om Reza? Ada apa?” Dani yang sedang membenahi buku-buku pelajaran mengangkat wajahnya. Dilihatnya Reza menggerakkan tubuuhnya agar dapat duduk. Dani menghabur membantu rekan bisnis Ibunya itu.
  “Ah, tak apa Dan, Om bisa duduk, tidak terlalu sakit. Hanya saja, kalau Om kelihatan tak berdaya memang Om sengaja”.
  “Maksud Om Reza apa? Dani kurang paham Om!” Dani sudah sepenuhnya mencurahkan perhatiannya pada laki-laki yang ada didekatnya, yang malam ini akan tidur sekamar dengannya. Kewaspadaan menghinggapi dirinya karena selain mereka beru berkenalan, baru saja Reza juga mengakui berpura-pura tak berdaya. Apa maksudnya?
  “Om sudah dengar dari Mama mu kalau kamu ikut Papa mu setelah orang tua mu bercerai. Sebenarnya wajar saja kalau anak laki-laki ikut Ayahnya, berbeda dengan anak perempuan yang pastilah memilih ikut Ibunya ketimbang ikut Ayahnya dan mempunyai Ibu tiri. Om menganggap lumrah kalau tidak karena teleponmu sore tadi, kebetulan Om ada dekat Mama mu dan mendengar jawaban-jawaban Mama mu”.
  “Lantas?”
  “Barusan juga Om menguping pembicaraan kalian. Percakapan Om yang membuat Om berpura-pura tidur dihadapan Mama mu”.
  “Jadi maksud Om apa sebenarnya?” Tanya Dani dengan jengkelnya.
  “Om ingin bercerita berdua denganmu tentang Ayahmu, Faisal. Pemukulan atas diri Om tadi, sama sekali bukan karena kesalah pahaman kami dijalanan. Faisal lah yang merekayasa kejadian itu dengan menyuruh dua laki-laki itu untuk menghajar Om”.
  “Bagaimana Om bisa menegatakan Papa yang mengatur pemukulan tadi?” Tanya Dani agak senang.
  “Karena orang yang memukul On itu mengancam terang-terangan. Kalau Om tetap membantu Mama mu, mereka akan mengadakan perhitungan. Begitulah kejadian sebenarnya Dan. Om tak mau menceritakannya pad Mama mu karena beliau pernah bilang mau melepaskan bayang-bayang Faisal dan sama sekali tak berniat membalas perlakuan curangnya dalam menjegal bisnis Mama mu”.
  “Ada hal menarik setelah Om tahu ternyata kamu bekerja sama dengan Mama mu dalam mengawasi Papa mu. Tentunya kau tahu Papa mu merencanakan pemukulan tadi Dani?”
  “Tidak Om Reza. Saya tidak mengetahuinya, kalau saya tahu pasti akan beritahu Mama”.
  “Jadi benarkah Papa mu mengizinkan kamu pindah kesini tanpa banyak protes? Apakah kamu tidak dipertahankan atau dirayunya untuk tetap bersamanya?”
  Mata Dani terbelalak. Mulutnya bugkam. Reza tak tahu apa yang sebenarnya dirasakan Dani. Marah, curiga, tak suka ataukah benci?
  “Dani, kita ini sesama laki-laki. Om yakin Dani sayang sama Mama bukan? Menurut pengamatan Om, dengan adanya ancaman lewat Om barusan, keselamatan Mama mu terancam. Papa mu.. Ah, Om belum pernah ketemu dengan Ayahmu tapi kesannya kok seperti.. Maaf.. seperti Monster. Memang orang tuamu sudah bercerai secara baik-baik, tapi kalau Ayahnya secara serius menjegal bisnis Ibumu, pembantaian ini amat keterlaluan dan tidak manusiawi.”
  “Cukup Om! Cukup! Jangan dilanjutkan!” Bentak Dani beringas. Reza agak kaget menghadapi reaksi anak itu. Dani berdiri, matanya berkilat-kilat, tangannya dikepalkan kuat-kuat . Dari mulutnya terdengar desisan yang menggetarkan.
  “Kalau Dani sudah besar, lebih kuat dari sekarang, dia..dia..akan Dani..Ugh! Dani akan balas perlakuan jahatnya sama Mama. Dani benci punya Papa seperti dia”.
  “Dani, bisik Reza kebingungan.
  “Om hebat bisa menangkap ketidakbenaran pengakuan Dani pada Mama barusan. Ya, memang benar tidak semudah itu Papa membiarkan Dani pindah kesini dan mengikuti Mama. Dani tahu, Papa tidak akan pernah mengizinkan Dani pergi dari rumahnya setelah Papa dan Mama bercerai dan Mama mengizinkan Dani ikut Papa”.
  “Jadi, apa yang sebenarnya kau lakukan, Dani?” tanya reza hati-hati.
  “Tadi pagi Reyni minggat. Papa marah besar. Dan ditanyai macam-macam yang Dani nggak mengerti. Kebetulan ada kejadian itu hingga Dani ikut-ikut minggat dengan alasan Dani akan terlantar kalau Reyni tak ada. Jadi Papa tidak berkutik”.
  “Ck..ck..ck.. persoalannya semakin kompleks. Eh, mengapa kamu tidak berterus terang pada Mama mu soal minggatnya Ibu tirimu Dan?”
  “Dani tak mau Mama ikut merisaukan sebab ada kemungkinan Papa yang sakit hati ditinggal Reyni melampiaskan kemarahannya pada Mama, atau kemungkinan lainnya Papa berdaya upaya rujuk kembali dengan Mama. Dua-duanya tak dani suka. Jadi, Dani memilih diam daripada memberitahu Mama mengenai keadaan Papa”.
  “Bagus itu Dan, kamu pandai menilai situasi. Tapi tidak selamanya kita sembunyikan hal ini, suatu saat Mama mu perlu mengetahuinya agar bila terjadi sesuatu bisa diwaspadai sebelumnya”.
  “Sekarang, apa rencana Om Reza?”
  “Belum terpikirkan. Hanya yang pasti bisnis Mama mu harus jalan terus”.
   “Om tidak bisa tereang-terangan lagi membantu Mama kan? Dani bisa membantu Om dalam menjelaskan pada Mama, bagaimana kalau kita katakan Om sibuk dengan tugas sehari-hari menjelang kepulangan Pak Alam?”
  Dahi Reza mengernyit. Tangannya menopang dagunya dengan mata menerawang. Perlahan-lahan kepalanya digelengkan.
  “Kalau Om tidak kelihatan membantu Mama mu, Papa mu akan bersorak kemenangan karena mengetahui nyali Om ciut setelah di ancam. Ah, tidak. Om tidak mau mundur”.
  “Aduh! Jangan Om,! Papa sekarang pemberang, kalau Om habis dibantainya, dani tidak bisa bayangkan bagaimana sedihnya tante. Dani juga tak mau Om berkorban sejauh itu.
  “Maksudmu tante siapa Dan?”
  “Tantenya Om Reza dong, Eh.. maksud Dani istri Om gitu..”
  “Om tidak punya istri, sudah meninggal dua tahun yang lalu Dan”.
  “Haaah! Aduh! Maaf, Dani tidak tahu. Dani kira..Ehmm, apakah Om punya anak?”
  “Ada satu. Perempuan. Sebaya kamu. Dia sedang studi diluar negeri Dan. Kalau anak Om berlibur, pasti akan Om kenalkan”.
  Dani mengangguk-angguk gembira. Begitulah keduanya bercakap-cakap sampai larut malam. Dari pembicaraan yang satu beralih pada topik lainnya sampai mereka mengantuk dan terlelapkan hampir bersamaan.

Bersambung...

Cinta Yang Terenggut (Fredy S) - Bagian 3

FREDY S.
CINTA YANG TERENGGUT



Cerita ini adalah fiktif, bila ada persamaan nama, tempat maupun peristiwa, itu hanyalah kebetulan belaka, dan tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Bagian 3

  Deg! Jantung Annete berdegup amat kencang. Wajahnya memucat. Ketegangan dalam dirinya memuncak. Kurir Ayahnya yang ditugaskan mencari tahu siapa pemilik agen yang menjegal pendistribusian barang-barangnya menundukkan kepalanya dalam-dalam.
  “Jadi, pemilik sebelumnya sudah menjual agennya pada..pada..”
  “Ya Bu, Pada pemilik yang baru, namanya Faisal Sumampau”. Ulang si kurur takut-takut.
  Bergemuruh dada Annete mendengar nama yang satu itu dan kenyataan yang sedang dihadapinya.  Dengan punggun tangannya dihapus keringat yang membasahi leher dan dahinya. Nafasnya memburu. Ditariknya nafas pendek-pendek. Dihela nafasnya agak tertahan, tidak lepas sebagaimana biasanya. Ughh! Dia begitu panik menghadapi krisis tersebut.
“Baiklah, kembalilah bekerja, kalau ada tugas lain, nanti akan saya beritahu”. Kata Annete mengusir anak buahnya. Buru-buru ditelepon Ayahnya untuk melaporkan perkembangan terakhir yang didapatkannya. Sayangnya, Annete menerima berita yang lebih buruk dari rumahnya. Ayahnya terjatuh dikamar mandi dan baru saja dibawa kerumah sakit.
  “Mama tak sempat menelponmu karena begitu terburu-buru mengurusi Papa mu. Kebetulan Mama baru pulang untuk mengemasi pakaiannya. Ada apa kamu mencari Papa mu Ann?”
  “Hmm.. persaan saya tak enak Ma, jadi saya telepon. Oya, dimana Papa dirawat? Saya langsung kesana”. Tanya Annete berniat menyusul kerumah sakit.
  Sepanjang perjalanan hati Annete gelisah. Masalah yang dihadapinya bertubi-tubi sejak perceraian dengan Faisal. Sepertinya mantan suaminya sakit hati atas campur tangan Ayahnya dalam menyelesaikan perceraian mereka. Barang-barang yang dibawa pergi oleh Faisal hanyalah pakaian dan keperluan pribadinya sehari-hari. Tidak lebih dari itu. Harta berupa barang tak bergerak yang berasal dari orang tua Annete tidak bisa diklaimnya sebagai miliknya.
  Sakit hati Faisal berlarut-larut dengan diketahuinya Annete terjun dalam bisnis Ayahnya. Entah bagaimana caranya, manatan suaminya mengetahui sepak terjangnya. Tahu-tahu Annete mengalami kesulitan besar dalam memasarkan barang-barangnya. Toko, Supermarket atau Toserba yang menjadi pelanggan mendadak menghentikan permintaan atau kiriman barang.
  Lantas Annete menugaskan karyawannya untuk menyelidiki. Hasilnya amat mengejutkan. Para pelanggannya sudah mendapatkan pemasok baru yang menawarkan harga barang lebih miring dari agennya. Harga yang ditawarkan tidak main-main, harga modalnya! Kalau Annete mau berperang harga dengan menurunkan harganya, matilah bisnis Ayahnya.
  Dalam kebingungan , kepanikan dan ketidak mengertiannya Annete bertahan untuk sementara. Dia berusaha mencari pelanggan baru tapi belum banyak berhasil. Hanya beberapa toko kecil yang bisa digaetnya menjadi pelanggan.
  Masih ada tindakan yang dapat dilakukan. Annete mengirimkan kurir untuk menyelidiki aagen pesaingnya yang entah sengaja atau tidak menjegal kegiatan bisnisnya dengan cara tidak fair.
  Dan barusan diketahui kunci permasalahan yang dihadapinya. Agen pesaing baru saja di kuasai Faisal, mantan suaminya. Lamunannya buyar setelah Annete tiba dirumah sakit. Ditemuinya Ayahnya yang terbaring dengan wajah pucat.
  “Ahh, Papa tak apa-apa, hanya kaki Papa sedikit terkilir saja, Mama mu sudah panik dan berkeras membawa Papa kesini. Nah! Itu Mama mu baru datang!”
  “Sudah lama Anne?” Tanya Ibunya langsung membenahi pakaian dan barang-barang yang dibawanya.
  “Baru saja Ma”. Jawab Annete sambil membantu Ibunya.
  “Bagaimana order yang masuk hari ini Ann?”
  “Aduh! Papa ini, jangan memikirkan bisnis. Biar semuanya diurus Annete. Papa kan baru mengundurkan diri, beri kesempatan yang muda-muda untuk menangani bisnisnya. Percayalah, Mama lihat Annete mampu kok”.  Kata Ibunya melirik suami dan anknya bergantian.
  “Ya, Mama bernar Pa, Papa jangan terlalu memikirkan bisnis kita. Papa perlu beristirahat biar cepat sembuh, pasti Annete akan melaporkan perkembangan terakhir usaha kita”.
  Firasat Papa kok tidak enak? Oya, bukankah hari ini kurur itu harus memberikan laporannya? Apa hasilnya Ann? Papa ingin Tahu, itu saja. Papa janji kalau sudah tahu soal itu, Papa akan tutup mata dan tutup telinga, semuanya biarlah kamu yang menangani. Nah, apa kata kurir kita Ann?”
  Annte ragu-ragu menjawabnya. Ibunya sudah menyela dengan menyarankan Ayahnya untuk diam, tidak bertanya soal bisnis sedikitpun. Bahkan dengan nada mengancam, Ibunya memberitahukan dirinyalah yang akan menemani suaminya malam ini dirumah sakit, supaya suami dan anaknya tidak berkesempatan berbincang-bincang perihal bisnis selagi dirinya tak ada.
  “Ah.. Mama”. Keluh Ayahnya memprotes.
  “Sudahlah Pa, yakinlah Annete bisa mengatasinya, bukankah Papa suadah mempercayakan usaha per-agenan itu pada Annete?” Tanya Annete memanis-maniskan senyumannya.
  Dihadapan Ibunya, Ayahnya menjadi tidak berkutik. Demikian pula dengan dirinya. Annete memustuskan untuk tidak memberitahukan perkembangan terakhir pada Ayahnya. Terlalu riskan sebab menyangkut mantan suaminya.
  Setelah cukup lama berbincang-bincang, Annete pulang. Tapi ia tidak pulanag kerumah melainkan ke kantornya. Disana ia merenung lama sembari membolak-balik tumpukan berkas dimejanya. Sampai suntuk kepalanya mempelajari isi berkas yang menggambarkan kekacauan bisnisnya, sepinya order, harga-harga penjualan yang diturunkan secara bertahap , konsep brosur atau surat-surat promosi dan lain-lainnya. Senua usahanya tidak menunjukkan hasil memadai.
  Annete meruntuk dalam hatinya. Dia menyesal pernah menyarankan Faisal memperdalam studi dibidang ekonomi hingga kepandaiannya sekarang dipergunakan untuk menghancurkan bisnisnya. Berapa lama lagi Annete bisa beertahan? Dia amat ngeri membayangkan. Lihat saja tumpukan barang-barang di gudang, sebagian kecil mulai rusak. Karyawan-karyawan yang lebih banyak menganggur ketimbang bekerja. Pengeluaran rutin tidak bisa dikurangi. Tumpukan masalah sudah terbayangkan, Bagaimana lagi Annete mengatasinya?
  Dihempaskan tubuhnya di atas kursi. Saat itu ia teringat akan anaknya yang masih berada di rumah Faisal. Sudah tiga bulan lebih Dani mengeram disarang musuhnya. Selama waktu itu beberapa kali Dani menelpon sekedar  say hello belaka. Tidak ada pembicaraan penting yang disampaikan atau dibahas.
  Apa yang sudah terjadi pula dengan diri anaknya? Jangan-jangan Dani sudah lupa dengan janjinya. Ataukah Faisal yang membuat anaknyakerasan tinggal bersama ibu tirinya?


Pikiran Annete semakin melantur jauh. Ia tergoda untuk menelpon Dani dirumah mantan suaminya. Tapi, bagaimana kalau yang mengangkat teleponnya adalah Fasial atau Reyni?
  Dengan lemasnya Annete menjauhkan tangannya dari pesawat telepon. Hatinya membayagkan kelakar anaknya terbukti, dia akan kehilangan suami dan anaknya sekaligus. Ahh..tidak. Dia masih dapat berbuat sesuatu untuk memperjuangkan miliknya yang paling beharga. Paling tidak Annete dapat membujuk anknya.
  Annete berdiri. Menyingkap tirai jendela dan nampak kegelapan diluar sana. Sudah malam, dia tidak bisa berlama-lama dikantornya, dia harus pulang kerumahnya. Berhentilah berpikir sampai disini. Annete sudah mendisiplinkan diri tidak membawa masalah pekerjaannya kerumah. Setibanya dirumah, pembantunya Dani baru saja pergi memncarinya.
  “Pergi mencari kemana Bik?”
  “Aduh! Mana Bibik tahu Bu. Datang-datang Dani cari Ibu, lantas telepon ke kantor tapi tidak diangkat, lantas ya keluar begitu saja”.
  “Dani kok tidak sabar menunggu saya”. Guman Annete agak kesal. Diisyaratkan pembantunya untuk pergi meninggalkannya sendirian. Hm! Baru saja Annete memikirkan anaknya, eh yang dirisaukannya datang. Ada apa pula Dani mencarinya tergesa-gesa tidak sabar menunggunya pulang? Aduh! Annete ketularan gelisa dalam menantikan Dani!. Kalananti Dani tidak muncul-muncul, pasti pasti ia menelpon kerumah mantan suaminya untuk menanyakan apa sebanya Dani mencarinya.
  Akhirnya Dani muncul dirumah orang tua Annete. Kelihatannya capek meski matanya berbianr-binar.
  “Mama ini dicari ke kantor kok sudah pulang?”
“Lha, kamu kenapa tidak menunggu Mama pulang” Tak lama kau pergi, Mama pulang”.
  “Habis Danitak tenang. Dani ingin buru-buru ketemu Mama dan Dani juga ingin buru-buru pulang, waktu yang Dani miliki terbatas sekali. Jadi beginilah maih uber-uberan.
  “Ada apa Dan? Bagaimana hasil penyelidikanmu selama ini?”
“Mula-mula agak sulit dani menyelidikinya Ma, karena Papa dan Reyni amat berhati-hati. Belakangan berulah Dani tahu. Maaf ya Ma, selama menyelidiki mereka, Dani jarang menelpon. Selain kuatir dicurigai, Dani tak punya waktu, apalagi perhatian Dani juga tersita pada mereka”. Katanya berkilah.
  “Ya, Mama mengerti. Sekarang jelaskan hasil penyelidikanmu”. Pinta Annete tidak sabar. Dani memaparkan segamblang-gamblangnya apa saja yang diketahuinya.
Rupanya ayahnya memiliki tabungan yang lumayan besarnya. Reyni sendiri berasal dari keluarga cukup berada. Dengan tambahan uang dari Reyni, Faisal mampu membeli perusahaan serupa dengan yang dimiliki Ayah Annete. Lantas dia bergerak sesuai dengan rencananya. Hasilnya berdampak buruk terhdap bisnis Annete.
  “Jadi, Papa mu tega menghancurka usaha Opa mu?
  “Ada isyarat yang Dani tngkap Ma, mungkin Reyni sudah menceritakan saran, desakan dan peluang yang mama berikan padanya. Dan Papa bukan saja merasa terjebak, tapi Papa juga tahu Mama menghendaki perceraian. Jadi tindakannya bukan saja untuk menghancurkan bisnis Opa, melainkan juga di arahkan pada diri Mama. Apakah Mama tidak menyadari hal itu?”
  “Astaga!” desis Annete tersadarkan. Ditatapi anak semata wayangnya yang berwawasan amat luas. Beberapa hal yanag belum dimengerti satu-persatu tersingkap oleh Dani.
  “Dani tak bisa lama-lama agar mereka tidak curiga. Dani harus pulang”. Katanya membuat Annete terkesima.
  “Bagaimana pula dengan rencan Mama sebelumnya? Kapan kamu pindah kesini ataukah hal itu sama sekali tidak memungkinkan Dan?
  “Dani akan pindah kalu keadaan sudah dapat Mama atasi. Kalau belum, Dani masih diperlakukan untuk memata-matai mereka?”
  “Yah! Kamu benar Dan, tak sampai terpikirkan Mama. Pikiran Mama belakangan ini habis tersita untuk mengatasi kehancuran bisnis Opa mu yang sudah di ambang pintu.
  “Dani tahu itu Ma, makanya Dani mampir kesini. Oiya Dani sudah memikirkan jalan keluarnya. Dani dapatkan pemikiran ini setelah sekian bulan bergelut mengikuti sepak terjang Papa dalam bisnis barunya”.
  “Apakah itu Dan?” Katakanlah, Mama ingin tahu”.
  “Mama harus mencari pelanggan baru sebanyak-banyaknya”.
  “Itu sudah Mama lakukan Dani, namun hasilnya tidak memuaskan”.
  “Kalau begitu tingkatkan mutu pelayanan dan turunkan harga untuk menggiur pelanggan”.
  “Sudah Dani, namun tidaka tepat sasaran, pelanggan sudah dikuasai Papa mu”.
  “Jadi Mama sudah lakukan semuanya? Dan Gagal?” Dani tercengan mengetahui hal itu. “Apa Mama tidak mencari orang yang kuat supaya bisa menghancurkan bisnis Papa yang curang?”
  “Oh! Tidak Dan, Mama ingin terlepas dari bayang-bayang Papa mu. Mama sudah berusaha mengalah dan mencari pelanggan baru, meski pelanggan kita dicaplok Papa mu. Mama tidak suka cara yang kau anjurkan Dan. Mama tidak mau main backing-backingan”. Elak Annete tak bersemangat. Dani mengangkat bahunya. Terpaksa Annete mengizinkan anaknya pulang kerumah mantan suaminya.
  Baru saja Dani menghilang, Annete terlonjak mendapatkan gagasan yang berasal dari saran anaknya yang terakhir. Sebaiknya dia mencari orang kuat untuk menghancurkan bisnis pesaingnya. Ah, bukankah seperti itu gagasan yang baru didapatnya?
  Sekonyong-konyong Annete teringat mantan atasannya yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan cukup besar. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Annetesempat bekerja setahun pada perusahaan properti sebagai sekretaris. Sayangnya dia cepat hingga terpaksa berhenti bekerja.
  Ya, Annete akan menemui Pak Alam, mantan atasannya yang menyesalkan keputusannya berhenti karena pekerjaannya sangat memuaskan. Meskipun lingkup beliau bukan bergerak dibidangnya, Annete mencoba minta bantuan sekiranya beliau bersedia. Tak ada salahnya dicoba. Annete masih ingat pesan atasannya ketika menghadiri pesta perkawinannya. Kapan saja Annete mau kembali bekerja akan diterimanya  dan janganlah ia segan-segan meminta bantuannya bila menemui kesulitan.
  Lantas apa rencana selanjutnya bila mantan atasannya itu mau menolongnya? Oh! Annete takkan berbalik menghancurkan bisnis Faisal. Dia bertekad membangun bisnisnya tanpa terusik kehadiran Faisal. Akan dibuktikan ketegaran dan ketangguhannya dalam mengelola bisnis Ayahnya. Tak dibiarnkan kehancuran menggerogoti dan meruntuhkan perusahaan yang sudah dengan susah dirintis Ayahnya.
  Senyum Annete terkembang menyadari gagasannya amat baik dan pantas dicoba. Lalu segala sesuatunya dipersiapkan, ia menelpon terlebih dahulu untuk memastikan perusahaan manatan atasannya masih beralamatkan di lokasi yang pernah diketahuinya.
  Leganya Annete mengetahui lokasi kantor mantan atasannya tidak berubah atau pindah. Penerima teleponnya yang adalah petugas keamanan memberi keyakinan itu padanya.
  “Jadi Pak Alam keluar negeri?” Tanya Annete begitu terhempas. Laki-laki muda yang bernama Reza dan berjabatan sebagai Manajer memberikan kabar itu. Suatu kabar yang kurang menyenangkan bagi Annete.
  “Ya, baru dua hari yang lalu beliau terbang”.
  “Kapan beliau kembali?”
  “Bulan depan”.
  “Haah! Bulan depan?” begitu terperenjatnya Annete mendengar hal itu.
  “Ya, bulan depan. Habis banyak kegiatan yang harus diikutnya, entah seminar, melobi pengusaha asing dan lain-lainnya. Hmm..barangkali ada yang bisa saya bantu untu..”
  “Saya Annete. Panggil saya Anne.”
  “Oh ya, apa yang bisa saya bantu untuk Ibu Anne?”
  “Aduh! Gimana ya?” Annete kebingungan menjelaskannya.
  “Saya....”  suaranya terdengar mengambang, tidak tertuntaskan dengan baik.
  “Hm. Bagaimana kalau minta nomor teleponnya saja? Anda diberitahu hotel tempat beliau menginap bukan?”
  “Wah! Saya tidak bole sembarang memberitahu. Oh ya Maaf, Anda ini siapa, kalau boleh saya tahu, supaya saya tidak ragu lagi memberikan nomor telepon Bapak Alam”.
  “Saya pernah bekerja sama Bapak Alam. Ya terus terang saya ada kesulitan dan memerlukan bantan Pak Alam. Pak Alam sendiri perna bilang pada saya agar tidak usah segan-segan datang bila ada sesuatu. Dan .. kalau sekarang Pak Alam tidak bisa saya temui ya apa boleh buat, apalagi anda keberatan memberikan nomor telepon beliau”.
  “Ooh, maksud saya bukan begitu, bukannya saya tak mau memberikan informasi yang anda buuthkan..eh..sebentar..” Reza menghentikan suaranya ketika terdengar suara ketukan pintu disusul dengan masuknya sekretarisnya.
  “Ada apa?”
  “Laporan keuangan mau saya Fax ke Amerika Pak Reza, tolong di-acc saya Fax.” Pinta sekretarisnya.
  “Nah! Kebetulan ada Fax sayang mau saya kirimkan ke Pak Alam. Saya rasa BU Annete bisa menulis pesan singkat bersamaan dengan Fax kami. Saya paham kalu anda kuatir ini pesan terbaca kami disini, ikutilah sekretaris saya agar bisa menjaga isi Fax anda tidak terbaca siapapun. Kalau sudah selesai, kertas yang bertulisakan pesan anda akan bisa diamankan, Bagaimana?”
  “Ide yang bagus, kaklau begitu boleh saya minta kertas dan pen-nya?” Annete mendapatkan yang dimintanya. Lantas ia menulisakan pesannya cukup singkat dan jelas. Sesuai dengan pengarahan Reza, Annete mengikuti sekretaris Reza mengirimkan Faksimil untuk mantan atasannya. Laporan keuangan yang akan dikirimkan, diletakkan dengan keretas berisikan pesan singakatnya. Setelah itu, sekretaris Reza memisahkan laporan keuangan dengan kertas berisi pesannya yang dikembalikan padanya.
  Dengan tangan menimang-nimang keretas berisi pesannya, Annete kembali kereuangan Reza. Laki-laki ituk duduk dengan gaya simpatik.
  “Sudah Bu Annete?”
  “Sudah Pak Reza, terimaksih atas kesempatan yang anda berikan. Oya, saya mau berpamiyan saja karena..” Ucapan Annete terputus ketika pesawat telepon Reza berdering, Reza pun menyambutnya. Dan ekspresi wajahnya berubah setelah mengeteahui siapakah penelponnya.
  “Ooh Pak Alam.. Ya..” begitulah suara Reza terdengar terpotong-potong.
  “Bu Annete, kebetulan Pak Alam ada ditempat dan menerima Faksmil yang baru kita kirim. Sekarang beliau ingin bicara degan Bu Annete, silahkan”. Katanya mengangsurkan gagang telepon.
  “Annete menerimanya. Akhirnya mereka berbicara ditelepon membahas pertolongan apa yang dibutuhkan Annete.
  “Ya, saya mengerti Annete. Tidak cukup relaks menyatakan kesulitanmu sekarang lewat telepon. Kalau persoalanmu tidak terlalu mendesak, kamu bisa menunggu saya kembali. Tapi kalu begitu mendesak, jangan segan-segan menyampaikannya pada Reza, saya sudah menginstruksikannya untuk membantumu. Dia orang yang kupercayai dan ku andalkan, jangan ragu-ragu padanya, Oke?”
  Annete kebingungan bicara, padahal mantan atasannya sudah mengisyaratkan pembicaraan mereka berakhir. Untunglah Reza beranjak keluar hingga Annete dapat bebas berbicara tanpa kuatir terdengar Reza.
  “Begini Pak Alam, saya baru saja bercerai dan mengelola bisnis orang tua saya. Dan saya mengalami kesulitan karena mantan suami saya itu yang mengambil alih sebagian besar pelanggan kami dengan cara-cara tidak fair. Menurut Pak Alam, apakah bisnis saya itu ditutup saja dan dijual selagi kerugian kami belim banyak ataukan ada cara lain?” Tanya Annete memaparkan kesulitannya.
  “Wah! Jangan ditutup Annete. Saya rasa ada cara untuk mengatasinya. Cobalah kamu berkonsultasi dengan Reza, pemikirannya amat brilyan, makanya saya percayakan perusahaan ditangannya. Reza juga bisa meminta bantuan beberapa relasi bisnis saya yang bergerak dibidang supermarket. Jangan putus asa  Ann. Dalam bisnis, jegal menjegal itu sudah sering terjedi. Kau harus kuat, Reza akan membantumu, dia bisa diandalkan, Oke? Oya, salam saya untuk Ayah dan Ibumu ya, nanti akan saya pantau perkembangannya lewat Reza. Sampai nanti Annete”. Katanya mengakhiri pembicaraan.
  Annete meletakkan telepon dengan hati-hati dan menantikan Reza kembali. Dari pembicaraan mantan atasannya, Annete mendapat kesan kalau Reza amat dipercaya dan diandalkan. Mudah-mudahan saja laki-laki itu dapat menolongnya kealuar adari kesulitan dan rong rongan Faisal.
  “Maaf, agak lama saya meninggalkan Bu Annete”. Kata reza memasuki ruang kerjanya.
  “Hm..Kalau bung Reza sibuk.. saya mau pamitan saja”.
  “Sama sekali tidak Bu, Saya punya waktu untuk berbincang-bincang dengan Bu Annete. Sebagian tugas sudah saya instruksikan lewat sekretaris saya, jadi pembicaran kita tak terganggu. Saya sudah mendapat mandat dari Pak Alam untuk membantu Bu Annete, mudah-mudahan Bu Annete sendiri tidak kecewa karena Pak Alam tidak dapat menolong Ibu. Tak apa-apa bila diwakilkan pada saya kan?”
  Annete tersipu-sipu menghadapi tutur kata Reza yang bersahaja. Kerendahan htinya berkesan dihati Annte. Kalau saja Pak Alam tidak memuji kehandalan Reza, Annete tak akan tahu keistimewaan laki-laki dihadapannya.
  “Begitulah kesulitan yang sedang hadapi Bung Reza”.
  Hmm.. sebelum kita amelangkah lebih jauh, misalnya membawa cara-cara megatasi kesulitan Ibu, tak keberatankah Ibu untuk menjelaskan apa saja yang sudah Ibu lakukan?” Tanyanya amat simpati.
  Annete memaparkan dengan bersemangat. Dijelaskan cara-cara yang terpikitkan olehnya berikut hasil yang didapatkan setelah dipraktekkannya. Dari berbagai uapay selalu saja menemui jalan buntu.
  “Semalam anak saya menyarankan agar saya mencari orang kuat untuk melumpuhkan usaha Faisal, tapi saya tidak mau menggunakan cara kotor seperti itu. Saya bertekad untuk melepaskan diri dari bayang-bayangnya bukan saja dalam hubungann kami setelah perceraian, tapi dalam segala permasalahan yang ditimbulkan akibat perceraian. Dari gagasan anak saya Dani, saya terpikir untuk menemui Pak Alam dan meminta petunjuknya. Apakah lebih baik bisnis saya dihentikan saja, supaya Faisal dapat leluasa berbisnis. Kemudian saya berminat mengalihkan bisnis, mencari ladang baru begitu.”
  “Bole saja tahu sebagian besar pelanggan yang direbut mantan suami anda?” Tanyanya hati-hati. Annete menyebutkan beberapa toko besar, supermarket atau toserba yang diingatnya. Selanjutnya reza bertanya berbagai hal sekitar kegagalan mencari pelanggan baru.
  “Sekarang saya sudah mendapatkan gambaran tentang bisnis anda dan segala upaya anda selama ini. Langkah yang dapat kita tempuh sekarang agaknya  baru pada pengulangan upaya anda yaitu mencari pelanggan baru”. Katanya memutuskan.
  “Baiklah, Saya antarkan Bu Annete menemui bebrapa relasi yang kebetulan bukan pelanggan yang direbut Saudara Faisal. Memang mereka sudah memiliki agen tertentu, tapi kita bisa membujuk mereka agar bersedia memsan barang dari agen Bu Annete meski hanya sedikit saja”. Ajaknya dengan meninggalkan meja kerjanya.
  “Sekarang Bung Reza?” Tanya Annete masih terkesima. Gerak cepat Reza tidak diduganya.
  “Ya, sekarang. Lebih cepat kita bergerak, lebih baik kan?” tanyanya diplomatis.
  Sejak saat itulah Annete mendapat bantuan dari Reza yang tidak tanggung-tanggung. Gagasannya sederhana, mengulangi apa yang sudah dilakukan Annete sebelumnya, tapi gerak cepatnya, promosinya, pengaruhnya luar biasa. Dalam waktu singkat mereka sudah mendapat beberapa pelanggan kakap di samping toko-toko kecil yang tetap di incar Reza.
  Annete beljar memelihara hubunga bisnisnya dengan pelanggan barunya. Dia berusaha memberikan harga yang bagus dengan mutu pelayanan yang terus ditingkatkan. Annete tidak memandang remeh pelanggan kecilnya yang tidak terelalu banyak memasok barang-barangnya. Kalau yang kecil-kecil itu dikumpulkan, hasilnya tentu membesar, itulah yang diharapkan reza dalam mengarahkan Annete.


Upaya mereka tidak berhenti sampai disitu. Reza melontarkan gagasan cemerlang. Perusahaan properti Pak Alam yang memiliki rarusan karyawan juga dilibatkan dalam bisnis Annete. Sellluruh karyawannya dihimbau untuk mengambil kebutuhan pangan mereka pada Annete yang memberikan harga bersaing.
  Maka karyawan Annete menjadi amat sibuk mengemas kebutuhan pokok dalam kemasan kecil yang mudah disalurkan untuk para karyawan mantan atasannya.
  Kesibukan Annete menyita perhatian dan waktunya. Kepulangan Ayahnya dari rumah sakit terpaksa tidak bisa ditangani Annete, tahu-tahi Ayahnya sudah berada dirumahnya dan Annete begitu menyesal baru mengetahui akibat kesibukannya.
  “Maaf Pa, Annete..”
  “Papa mengerti, Mama sudah cerita kegiatanmu. Baguslah Ann, teruskan. Semangat kerjamu biki Papa ingin cepat-cepat pulang”. Katanya gembira.
  “Mama kan sudah blang, biar Annete yang mengurusi sgen kita, sudah waktunya Papa beristirahat. Nah! Lihatlah hasilnya, Annete bisa mengaatasinya kan?”
  “Ya tapi Annete tidak sendiri, ada yang membantu”.
  “Papa juga dengar itu. Siapa yang membantumu Ann? Ceritakan pada Papa mengenai dirinya”.
  “Namanya Reza, orang keprcayaan Pak Alam, Papa ingatkan atasan annet dulu?” Annete menjelaskan apa saja yang mereka kerjakan untuk menanggulangi masalah kehilangan sebagian besar pelanggan mereka.
  “Orangnya bagaimana Ann?”
  “Ya, baik, Tanggap, Berpengaruh, kerjanya cekatan den efisien, wawasannya luar, pokoknya amat di andalkan Pak Alam. Papa jangan kuatir dida bertikad buruk. Dia sungguh-sungguh mau menolong Annete meskipun awalnya karena instruksi dari Pak Alam. Tapi setelah Reza banyak membantu, Annte bisa menilai kesungguhannya.


“Dimana rumahnya Ann? Bagaimanakah keluarganya? Berapa anknya? Papa kok ingin tahu hal-hal selain yang berhubungan dengan bisnis kalian. Apa kamu mengerti maksud Papa Ann? Orang yang baik dan disiplin dalam pekerjaan, bagaimana kehidupannya sehari-hari”.
  “Nggg... Aduh! Annete tidak tahu banyak soal itu. Dia tak pernah menyatakannya dan Annete juga tidka bertanya”.
  “Lho, jadi kamu tidak tahu dimana rumahnya, keluarganya bagaimana? Berapa pula anaknya, Siapakah istrinya?”
  Kepala Annete menggeleng lemah. Dia benar-benar tak tahu dan merasa tak perlu tahu penjelasan yang di ucapkan Ayahnya. Bukan kesibukannya yang menyebabkan dirinya sungkan bertanya macam-macam mengenai kehidupan pribadi Reza, tapi alasannya karena sikap reza padanya pun serupa. Belu pernah laki-laki itu memberi perhatian pada hal lain diluar bisnis, meskipun mereka seringkali berada berduaan didalam ruang kerja Annete atau didalam mobil, kalau Reza mengatarnya pulang.
  “Sikapnya amat profesional Pa, rasanya Annete sungkan bertanya macam-macam nanti dikiranya apa..”
  “Maksudmu, dikiranya apa itu bagaaimana? Kamu ini kok tidak profesional? Hanya sekilas mengenal orang yang tahu seluk-beluk bisnis kita”. Tegur Ayahnya cukup tajam. Ayahnya mendesaknya untuk mejelaskan sikapnya dan apa yang dikiranya.
  “Waktu Annete minta tolong pada Pak Alam lewat telepon itu, Annete sempat memberitahu sudah bercerai dengan Faisa dan sedanag berkonsentrasi dalam bisnis Papa. Reza tahu hal itu dan kalu Annete bertanya macam-macam padanya, nanti dikiranya Annete ke usilan”.
  “Tapi setidaknya alamat rumahnya kamu ketahui Ann”.
  Annete kan bisa menghubunginya di kantor”. Kilah Annete masih tetap mengelakkan keinginan Ayahnya mengetahui tetek bengek yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.
  “Sudahlah Pa, Annete akan memperkenalkan Reza, dan terserah Papa kalu mau menanyakan segala tetek bengek itu”. Janji Annete menenangkan hati Ayahnya.

Bersambung...