Cinta Yang Terenggut (Fredy S) - Bagian 4

FREDY S.
CINTA YANG TERENGGUT



Cerita ini adalah fiktif, bila ada persamaan nama, tempat maupun peristiwa, itu hanyalah kebetulan belaka, dan tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Bagian 4

  PUKUL lima sore. Tubuh Annete dihempaskan ke tempat duduknya dan kakinya diselonjorkan. Hari ini kegiatannya amat padat, tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Annete harus mendampingi anak buahnya mengunjungi pelanggan mereka dan mengevaluasi kegiatan yang sudah mereka lakukan.
  Sekarang wanita itu terduduk keletihan. Belum bisa beranjak dari ruang kerjanya menunggu laporan-laporan anak buahnya yang baru kembali sore hari.
  “Selamat sore!” Sapa Reza setelah seorang karyawan Annete mempersilahkannya masuk k eruang kerja Annete.
  Annete melempar senyum dan mengisyaratkan Reza untuk duduk. Berbeda dengan penampilannya yang sudah tak karuan, Reza tampil menawan meski seharian bekerja dikantornya.
  “Terimakasih, kau masih mau mampir”. Kata Annete dengan tertawa. Hubungan mereka yang semakin erat memungkinkan ke akraban itu berkembang dalam komunikasi mereka.
  “Kebetulan rumahku searah dengan kantormu, apa salahnya aku mampir”. Jawabnya ramah. Karyawan yang membawakan minuman dihadiahkan ucapan terimakasih. Baru saja Annete ingin bertanya dimanakah alamat rumah Reza, telepon berdering.
  “Hallo? Ya, Saya sendiri. Ooh! Kamu Dani, Ada apa? Haaah!? Apa? Ya kenapa..? Jadi kamu sudah bilang pada mereka? Apa reaksi mereka? Begitu..? Ya sudah, jangan cerita macam-macam sama Opa dan Oma mu ya. Ya sebentar lagi Mama Pulang”
  Annete meletakkan teleponnya. Ditariknya nafas panjang sebelum Reza meliriknya.
  “Silahkan minum Rez”. Ucap Annete yang tidak ada hubungannya dengan hasil pembicaraannyalewat telepon, padahal Reza menangkap ada yang kekuatiran dalam suara Annete.
  “Kau mau pulang? Ku antarkan ya?”
  “Terimakasih Rez, biarlah aku pulang naik taksi, masakah aku harus sering-sering kau antar pulang? Kalau kau antarkan aku ke supermarket ya boleh-boleh saja. Tapi kalau untuk pulang, nanti aku ke enakkan kau antar..haha..ha..”.
  “Ah..tak apa-apa Ann, aku antar ya?” Desak Reza tak menyerah.
   “Kebetulan Papa mau berkenalan denganmu, Tapi kau siap tidak?”
  “Kenapa tidak?”
  “Oke! Kalu begitu”. Jawab Annete ringan. Dikemasi barang-baarangnya.  Hanya sebentar saja mereka berdua beriringan keluar kantor Annete,
  “Aku tak yakin rumahku searah dengan rumahmu, kalau rumahmu sudah searah dengan kantorku. Letaka kantor dan rumahku kan dari ujung ke ujung”.
 Ucapan Annete ditanggapi Reza dengan senyum simpul.. Ketika Annete melirik Reza, Laki-laki itu tersipu dipergoki sedang meliriknya pula. Hati Annete berdesir aneh. Ugh! Ada apa nih?
  “Ann.. Annete ..” Panggil Reza berulang-ulang. Annete yang sudah menyandarkan ke belakang baru menangkap suara panggilan Reza yang duduk dibalik kemudi.
  “Ohh! Eh! Ada apa?” Tanyanya begitu rikuh. Kali ini Reza lah yang memergokinya sedang melamun, padahal mereka baru saja masuk kedalam mobil.
  “Ah.. kalau kamu asik melamun, sory kubuyarkan”.
  “Hm.. aku memikirkan Dani”. Kata Annete yang secara tidak langsung yang menyatakan dirinya tidak sembarang melamun sebab isi lamunannya adalah anaknya.
  “Ya tak apa-apa kamu memikirkan yang lainnya, tak Cuma Dani” Kata Reza menyengat telinga Annete. Dengan cepat kepalanya berpaling, Wajah Reza kedepan dengan tangan memutar kemudinya hanya sekilas dilihatnya. Keburu Annete tersadarkan akan ‘kelakuannya’ dan dikembalikan posisi kepalanya lurus kedepan. Uh, hampir saja Annete lepas kendali, tangannya nyaris terangkat untuk menepuk pangkal tangan lengan Reza yang begitu dekatnya.
  Dadanya berdesir-desir. Annete kebingungan mendapati perbedaan perasaannya sekarang dibandingkan sebelumnya, ketika merekan bersama-sama ‘keluyuran’ dari supermarket ke supermarket lainnya. Sepanjang perjalanan topik pembicaraan mereka sekitar bisnis Annete. Nada sudara mereka meninggi . Bila membahas kegagalan dan upaya menanggulanginya. Tak sungkan-sungkan Annete membelalakkan matanya atau kadang berdecak kesal. Reza pun berbicara tanpa jeda, selalu mensuport wanita itu. Suaranya berdengung-dengung di telinga Annete.
  Itulah yang terjadi sebelumnya. Sekarang jauh berbeda. Mungkinkah karena terpengaruh keberhasilan mereka? Permintaan yang mulai menumpuk dan kesulitan-kesulitan yang tertanggulangi seakan meredakan emosi den ketegangan mereka.
  Karena itukan hatinya berubah? Desirannya mengingatkan masa lalunya ketika ia jatuh cinta pada Faisal. Astaga! Annete kaget sendiri menyadari kesamaan itu. Apakah dia.. Ohh! Idak bole! Dia tidak boleh berperasaan macam-maca, dia harus berkonsentrasi memusatkan perhatinnya pada tugas dan tanggung jawabnya.
  “Aduh! Apa-apaan! Teriak Reza dengan mendadak menginjak Rem. Sekonyong-konyong sebuah mobil berkecepatan tinggi dari arah berlawanan membelok sedemikian rupa nyaris menyenggol moncong mobil Reza kalau ia tidaka maenginjak Rem pada saat saling menentukan.
  “Aduh, mau apa mereka?” Tanya Annete melihat dua orang turun dari mobil yang hampir mencelakakan mereka.
  “Kurang ajar, sudah bersalah, eh sok jagoan! Rutuk Reza.
  “Jangan turun rez. Jangan layani mereka”. Kata Annete menyarankan. Nampaknya sarannya sia-sia belaka. Reza sudah berang, tangannya membuka pintu mobil siap menghadapi orang-orang yang disebutkannya jagoan.
  Dari dalam mobil Annete ketakukan menyaksikan pertengkaran mulut antara Reza dan dua orang lawannya. Meski dalam ketakukan, Annete sempat menurunkan kaca mobil dan menyarankan Reza untuk kembali kedalam mobil, tapi sayang peringatannya tidak digubris sama sekali.
  Ketika Annete menyaksikan seorang diantara lawan Reza melayangkan sebuah pukulan cukup telak, tubuh Reza menjadi limbung, Annete berteriak sekuaat-kuatnya meminta pertolongan. Bayangan gerakan tangan-tangan lawan Reza berkelabatan dimatanya, terlihat pula seorang lawan menendang Reza hingga sejajar di trotoar. Annete memencet klakson hingga lawan-lawan Reza berlarian kabur.
  “Ohh! Reza!” Pekik Annete dengan perasaan tak terperikan. Dia meloncat keluar mendekati tubuh Reza di trotoar. Pejalan kaki yang malihat insiden itu dena mendangar klakson yang dibunyi-bunyikan, merubunginya. Beberapa orang membantu memapah Reza ke dalam mobil sambil mengecam tidakan biadab itu.
  Setelah Reza direbahkan di jok belakang Annete kebingungan sendiri karena ia tak dapat menyetir. Untunglah di antara penolong ada yang berinisiatif menawarkan bantuannya mengemudikan mobil Reza ke rumah Annete. Sungguh Annete amat bersuykur mendapatkan bala bantuan yang amat tulus dari orang-orang yang tidak dikenalnya.
  Kepulangannya dengan membawa Reza yang masih pingsan, menggempurkan seisi rumahnya. Baik orang tuanya, Dani dan pembantunya beramai-ramai mengerumuni Reza yang dibaringka di sofa.
  Orang yang menolong annete berpamitan setelah sekeluarga menyampaikan ucapan terimakasih atas pertolongannya.
  “Sayang sekali orang-orang disekitar kejadian itu tidak semapt mencatat nomor plat mobilnya Pak”. Cetus orang yang menolong Annete. Ayah Annete hanya tersenyum kecut, langkahnya mengiringi kepergian si penolong.
  “Tak apalah Bung, kami jadikan insidan ini sebagai pelajaran dan para pelakuknya kelak akan mendapatkan ganjaran setimpal”. Ucap Ayah Annete berbesar jiwa.
  Sepeninggal orang yang menolong Annete, orang tua dan anaknya menanyainya macam-macam. Sadarla Annete akan pentingnya alamat rumah Reza.
  “Kalau kamu tahu, kamu kan bisa langsung mengantarkan kerumahnya, biar Reza di urus keluarganya. Tidak seperti sekarang, bagaimana kita menghubungi istrinya? Ya. Syukurlah cederanya tidak parah, itu saja yang melegakan papa”.
  “Apakah kita tak bisa menelpon ke kantornya menanyakan alamat rumah atau nomor teleponnya?” Dani mengusulkan sarannya.
  “Ya Pa”.
  “Tak usah, bikin heboh orang sekantor kalau tahu Reza dicelakakan orang”. Cegah Ayahnya Annete membatalkan niat anaknya menelpon ke kantor Reza.
  “Ambilkan eau de cologne, kita harus menyadarkannya “. Kata Ayah Annete memerintah. Ibu Annete bergerak mengambilkan apa yang diminta suaminya. eau de cologne dihubungkan ke saputangan yang dihirupkan ke hidung Reza. “oohgg! Ohhghh! Oh! Reza berguman tak jelas. Terlihat gerakan kepalanya menandakan ia siuaman setelah menghirup aroma eau de cologne.
  Tak lama kemudia kelopak matanya terbuka. Ayah Annete mengisyaratkan anaknya untuk berkomunikasi dengan Reza.
  ‘Rez, ini aku Annete. Syukurlah kamu sudah sadar. Sekarang kamu berada dirumahku. Perkenalkan ini adalah Ibuku, ini Ayahku dan ini Dani, anakku. Sst! Jangan banyak bicara, kamu harus beristirahat. Sebentar lagi kalau tubuhmu sudah mulai membaik, Dani dan Papa akan membawamu ke kamar. Tak apa-apa malam ini kau tidur disini bersama Dani kan? Oya, beritahukan nomor telepon mu, nanti aku akan memberitahukan istrimu”. Tanya Annete pelan-pelan agar dimengerti Reza.
Pertanyaan tidak dijawab Reza. Malahan kepalanya digelengkan meski amat lemah.
  “Sebutkan nomor teleponmu, nanti aku akan telepon istrimu supaya dia tidak kuatir kamu tidak pulang”.
  “Tak peerlu Ann. Tak ada orang dirumah, kecuali pembantuku”. Katanya menolak. Annete tidak biasa memakasa.
  “Kalau Reza sudah sadar, kamu madi dan makanlah, biar kami menjaga Reza”. Ibunya mengingatkan Annete untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Dengan perasaan kacau Annete mandi dan makan.
  Seusai makan, disusulnya Reza yang sudah dipindahkan ke kamar Dani, Didapatinya Reza terbaring lemah dengan mata terkatup. Dani menungguinya sambil membaca buku pelajaran.
  “Dan, kemapa Oma dan Opa?”
  “Sudah tidur Ma, baru saja”.
  “Mereka tanya apa saja pada Om Reza?”
  “Sama sekali tidak bertanya apa-apa, malahan menyemangati dan menasehati Om Reza untuk makan. Oma yang menyuapi makan, habis separuh piring. Habis itu dia tidur, tapi sebelumnya semapt minta Dani menggosokkan perutnya dengan param kocok”.
  Annete menarik nafas panjang. Dengan hati-hati ia duduk disisi pembaringan bersisian dengan Dani.
  “Mama belum sepenuhnya mengerti pembicaraanmu ditelepon Dan. Kamu sudah bilang sama Papa mu dan Reyni akan pindah kemari? Lantas Papa mengizinkan begitu saja Dan?”
  “Ya Ma, Dani kan yang berkeras merasa tak kerasan lagi tinggal disana!”
  “Papa mu tidak curiga?”
  “Oh! Tidak, pasti tidak Ma.”
  “Lantas mengapa kamu mendadak pindah tanpa brekonsultasi dulu sama Mama?”
  “Dani perkirakan sendiri waktunya kan sudah memungkinkan. Mama sudah mampu mengatasi persoalan dikantor dan rasanya Dani juga tak perlu berlama-lama memata-matai Papa”.
  “Darimana kamu tahu mama sudah berhasil mengatasi persoalan dikantor?”
  “Lho, memangnya belum Ma?”
  “Jawab dulu pertanyaan Mama. Kamu tahu darimana? Dari Papa?”
  Dani mengagukkan kepalanya sebagai jawabnya. Annete terdiam merenungi pengakuan anaknya.
  “Bagaimana bisnis Papa mu Dan?”
  “Lancar-lancar saja Ma”. Jawab Dani tanpa penjelasan seperti tentang kelancaran yang dimaksudkannya.
  “Persoalan dikantor Mama bagaimana? Sudah teratasi kan?” Tanyanya penasaran.
  Annete mengagukkan kepalanya. Ditepuk-tepuknya bahu Dani dengan lembut.
  “Sekarang kau sudah bersama Mama lagi. Hentikan semua pengamatanmu terhadap Papa mu, Mama ingin kita terlepas dari bayang-bayangnya. Paham kamu Dan?”
  “Ya Ma, Dani mengerti”.
  “Bagus! Sekarang jagalah Om Reza baik-baik. Kalau ada yang diminta, tolong kau penuhi ya. Mama mau beristirahat, hari ini capek sekali, apalagi dengan kejadian yang menimpa Om Reza. Ah, mengerikan! Mereka menghakarnya padahal bukan Om Reza yang bersalah”. Ucap Annete dengan kepaala digelengkan.
  Sesaat Annete teringat perasaan-perasaan ganjilnya tak kala Reza yang terlelap dengan damai. Kelopak mata yang terkatup rapat. Serapat bibirnya. Kepoosan menyelimuti wajahnya. Dan bayangan kejadian mengerikan itu mendesiskana suatu lontaran.
  “Kasihan..”
***

  “Dani...”
  Oh! Om Reza? Ada apa?” Dani yang sedang membenahi buku-buku pelajaran mengangkat wajahnya. Dilihatnya Reza menggerakkan tubuuhnya agar dapat duduk. Dani menghabur membantu rekan bisnis Ibunya itu.
  “Ah, tak apa Dan, Om bisa duduk, tidak terlalu sakit. Hanya saja, kalau Om kelihatan tak berdaya memang Om sengaja”.
  “Maksud Om Reza apa? Dani kurang paham Om!” Dani sudah sepenuhnya mencurahkan perhatiannya pada laki-laki yang ada didekatnya, yang malam ini akan tidur sekamar dengannya. Kewaspadaan menghinggapi dirinya karena selain mereka beru berkenalan, baru saja Reza juga mengakui berpura-pura tak berdaya. Apa maksudnya?
  “Om sudah dengar dari Mama mu kalau kamu ikut Papa mu setelah orang tua mu bercerai. Sebenarnya wajar saja kalau anak laki-laki ikut Ayahnya, berbeda dengan anak perempuan yang pastilah memilih ikut Ibunya ketimbang ikut Ayahnya dan mempunyai Ibu tiri. Om menganggap lumrah kalau tidak karena teleponmu sore tadi, kebetulan Om ada dekat Mama mu dan mendengar jawaban-jawaban Mama mu”.
  “Lantas?”
  “Barusan juga Om menguping pembicaraan kalian. Percakapan Om yang membuat Om berpura-pura tidur dihadapan Mama mu”.
  “Jadi maksud Om apa sebenarnya?” Tanya Dani dengan jengkelnya.
  “Om ingin bercerita berdua denganmu tentang Ayahmu, Faisal. Pemukulan atas diri Om tadi, sama sekali bukan karena kesalah pahaman kami dijalanan. Faisal lah yang merekayasa kejadian itu dengan menyuruh dua laki-laki itu untuk menghajar Om”.
  “Bagaimana Om bisa menegatakan Papa yang mengatur pemukulan tadi?” Tanya Dani agak senang.
  “Karena orang yang memukul On itu mengancam terang-terangan. Kalau Om tetap membantu Mama mu, mereka akan mengadakan perhitungan. Begitulah kejadian sebenarnya Dan. Om tak mau menceritakannya pad Mama mu karena beliau pernah bilang mau melepaskan bayang-bayang Faisal dan sama sekali tak berniat membalas perlakuan curangnya dalam menjegal bisnis Mama mu”.
  “Ada hal menarik setelah Om tahu ternyata kamu bekerja sama dengan Mama mu dalam mengawasi Papa mu. Tentunya kau tahu Papa mu merencanakan pemukulan tadi Dani?”
  “Tidak Om Reza. Saya tidak mengetahuinya, kalau saya tahu pasti akan beritahu Mama”.
  “Jadi benarkah Papa mu mengizinkan kamu pindah kesini tanpa banyak protes? Apakah kamu tidak dipertahankan atau dirayunya untuk tetap bersamanya?”
  Mata Dani terbelalak. Mulutnya bugkam. Reza tak tahu apa yang sebenarnya dirasakan Dani. Marah, curiga, tak suka ataukah benci?
  “Dani, kita ini sesama laki-laki. Om yakin Dani sayang sama Mama bukan? Menurut pengamatan Om, dengan adanya ancaman lewat Om barusan, keselamatan Mama mu terancam. Papa mu.. Ah, Om belum pernah ketemu dengan Ayahmu tapi kesannya kok seperti.. Maaf.. seperti Monster. Memang orang tuamu sudah bercerai secara baik-baik, tapi kalau Ayahnya secara serius menjegal bisnis Ibumu, pembantaian ini amat keterlaluan dan tidak manusiawi.”
  “Cukup Om! Cukup! Jangan dilanjutkan!” Bentak Dani beringas. Reza agak kaget menghadapi reaksi anak itu. Dani berdiri, matanya berkilat-kilat, tangannya dikepalkan kuat-kuat . Dari mulutnya terdengar desisan yang menggetarkan.
  “Kalau Dani sudah besar, lebih kuat dari sekarang, dia..dia..akan Dani..Ugh! Dani akan balas perlakuan jahatnya sama Mama. Dani benci punya Papa seperti dia”.
  “Dani, bisik Reza kebingungan.
  “Om hebat bisa menangkap ketidakbenaran pengakuan Dani pada Mama barusan. Ya, memang benar tidak semudah itu Papa membiarkan Dani pindah kesini dan mengikuti Mama. Dani tahu, Papa tidak akan pernah mengizinkan Dani pergi dari rumahnya setelah Papa dan Mama bercerai dan Mama mengizinkan Dani ikut Papa”.
  “Jadi, apa yang sebenarnya kau lakukan, Dani?” tanya reza hati-hati.
  “Tadi pagi Reyni minggat. Papa marah besar. Dan ditanyai macam-macam yang Dani nggak mengerti. Kebetulan ada kejadian itu hingga Dani ikut-ikut minggat dengan alasan Dani akan terlantar kalau Reyni tak ada. Jadi Papa tidak berkutik”.
  “Ck..ck..ck.. persoalannya semakin kompleks. Eh, mengapa kamu tidak berterus terang pada Mama mu soal minggatnya Ibu tirimu Dan?”
  “Dani tak mau Mama ikut merisaukan sebab ada kemungkinan Papa yang sakit hati ditinggal Reyni melampiaskan kemarahannya pada Mama, atau kemungkinan lainnya Papa berdaya upaya rujuk kembali dengan Mama. Dua-duanya tak dani suka. Jadi, Dani memilih diam daripada memberitahu Mama mengenai keadaan Papa”.
  “Bagus itu Dan, kamu pandai menilai situasi. Tapi tidak selamanya kita sembunyikan hal ini, suatu saat Mama mu perlu mengetahuinya agar bila terjadi sesuatu bisa diwaspadai sebelumnya”.
  “Sekarang, apa rencana Om Reza?”
  “Belum terpikirkan. Hanya yang pasti bisnis Mama mu harus jalan terus”.
   “Om tidak bisa tereang-terangan lagi membantu Mama kan? Dani bisa membantu Om dalam menjelaskan pada Mama, bagaimana kalau kita katakan Om sibuk dengan tugas sehari-hari menjelang kepulangan Pak Alam?”
  Dahi Reza mengernyit. Tangannya menopang dagunya dengan mata menerawang. Perlahan-lahan kepalanya digelengkan.
  “Kalau Om tidak kelihatan membantu Mama mu, Papa mu akan bersorak kemenangan karena mengetahui nyali Om ciut setelah di ancam. Ah, tidak. Om tidak mau mundur”.
  “Aduh! Jangan Om,! Papa sekarang pemberang, kalau Om habis dibantainya, dani tidak bisa bayangkan bagaimana sedihnya tante. Dani juga tak mau Om berkorban sejauh itu.
  “Maksudmu tante siapa Dan?”
  “Tantenya Om Reza dong, Eh.. maksud Dani istri Om gitu..”
  “Om tidak punya istri, sudah meninggal dua tahun yang lalu Dan”.
  “Haaah! Aduh! Maaf, Dani tidak tahu. Dani kira..Ehmm, apakah Om punya anak?”
  “Ada satu. Perempuan. Sebaya kamu. Dia sedang studi diluar negeri Dan. Kalau anak Om berlibur, pasti akan Om kenalkan”.
  Dani mengangguk-angguk gembira. Begitulah keduanya bercakap-cakap sampai larut malam. Dari pembicaraan yang satu beralih pada topik lainnya sampai mereka mengantuk dan terlelapkan hampir bersamaan.

Bersambung...